Trauma Hidup Mereka, Ribut Remeh Kita
Kekerasan seksual, termasuk di Indonesia, memakan korban lintas usia, gender, ras dan agama. Sayangnya, reaksi publik juga tidak unik—korban dicecar busana dan moralnya, diberangus demi melindungi reputasi pihak lain.
Pria Amerika Latin itu membenamkan wajahnya ke atas meja. Tubuh tinggi tegapnya terguncang tangisan. Di seberang meja, istrinya menitikkan air mata. Saya, mantan kawan sekelas yang kebetulan berkunjung, hanya bisa mengusap punggungnya sambil menggumam.
Pagi itu ia menerima kabar bahwa tuntutannya atas pelecehan seksual dari pemuka agama semasa kecilnya, akhirnya berbuah hasil. Institusi agama di negaranya resmi meminta maaf kepada puluhan korban termasuk dirinya, lalu akan memproses hukum pelaku. Perjuangan penuntutan yang pelik dan berliku, terutama karena agamanya adalah mayoritas di sana, menyayat luka baru di atas luka lama jiwanya. Pendidikan tinggi, karier sebagai ekspat dan istri cantik gagal menghapus traumanya. Malam itu, bahkan setelah tuntutannya dikabulkan, ia tak sanggup merayakan. Alih-alih, ia kembali menjadi bocah polos yang dicederai sosok yang seharusnya melindunginya—terduduk meratap sambil menyembunyikan wajah.