Wisanggeni
Wajah si bocah tampil di mana-mana. Dia selalu bertelanjang dada, bercelana panjang yang dibuntungi sedikit di bawah lutut. Rambut yang tak pernah disisir, tapi selalu menarik perhatian.
Udara naik. Uap tanah naik. Angin kering menggelasak hutan. Hutan terbakar. Rumput di lapangan hangus. Batang-batang tebu kian kering, tapi mungkin kian manis. Mandor-mandornya harus giat berkeliling. Banyak maling. Kebakaran di mana-mana, dan dari salah satu entah bangunan apa sebenarnya, yang terbakar hebat, orang-orang tercekat. Dari dalam gunung api yang menjilat-jilat langit pekat, terdengar tangis bayi mengoyak-ngoyak sepi.
βAnak siapakah dia? Tolong, ambil...β teriak seseorang. Tapi, tak seorang pun berani mengambil risiko memasuki gunung api yang tengah menikmati kemenangannya itu. Siapa menantang akan terpanggang. Polisi datang, hanya memandang. Pemadam kebakaran tiba terlambat dan wartawan hanya bisa bertanya-tanya. Semuanya mendapatkan jawaban apa saja yang diinginkan, tapi tak satu pun melakukan sesuatu atas tangisan bayi yang masih meraung-raung di tengah kobaran api itu.