Beberapa waktu lalu, saya mengkurasi foto-foto untuk pameran Jalan Menuju Media Kreatif (JMMK) #16. Pada tahun ini, tema yang diusung untuk pameran yang diselenggarakan oleh Fakultas Media rekam (FSMR), Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta adalah ”The Artistic Reflection of Recorded Media Art in the Artificial Intelligence Era”. Tema ini ditujukan untuk memberikan ruang perenungan atas cara kita menciptakan, melihat, dan memaknai karya seni media rekam di tengah invasi teknologi kecerdasan buatan.
Sebagai kurator, saya memulai dengan membangun konstruksi gagasan kuratorial. Kata kunci yang saya jadikan pijakan pertama konstruksi gagasan tersebut adalah demokrasi dan negosiasi. Demokrasi akan mengakomodasi karya seni yang dibuat dengan praktik tradisional (dalam konteks fotografi, hal ini merujuk pada penggunaan kamera dan perangkat pemotretan lainnya untuk menghasilkan karya) ataupun dengan praktik mutakhir menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Sementara negosiasi menjadi panduan agar saya lebih terbuka dengan melibatkan ragam perspektif untuk merenungkan nilai-nilai estetika dari keseluruhan karya.
Selama proses kuratorial yang berjalan dengan sangat baik, hasilnya ternyata menunjukkan fakta bahwa mayoritas foto masih diproduksi dengan praktik tradisional. Dengan demikian, saya semakin menyadari bahwa mungkin sebaiknya sikap-sikap resisten yang mewarnai masa-masa awal invasi kecerdasan buatan dibidang fotografi mungkin perlu sedikit dikendurkan. Bagi seorang fotografer, teknologi kecerdasan buatan sepertinya lebih difungsikan sebagai mitra dan bukan mesin utama.