Ketika pasukan Jepang masuk ke Indonesia pada 1942 dan mengaku sebagai ”saudara tua”, pemerintahan Hindia-Belanda berakhir. Pemerintah pendudukan Jepang melarang semua hal yang berbau ’Belanda’ dan Eropa (kecuali Jerman dan Italia). Ada peraturan khusus untuk menghentikan penggunaan bahasa Belanda, baik tulisan maupun lisan. Tulisan pada papan nama toko, nama tempat, nama surat kabar, nama merek, bahkan nama panggilan yang berbau ’kolonial’ Belanda, seperti Marie, Karel, Hans, dan Mientje, dilarang.
Dalam bidang fotografi di Indonesia, masa pendudukan Jepang, foto-foto yang dihasilkan hanya bertujuan untuk propaganda. Galih Sedayu (2016) mencatat pada bulan Mei 1942 pemerintah militer Jepang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 bahwa setiap fotografer wajib mengirimkan negatif yang digunakan kepada bagian sensor di Barisan Propaganda Jepang. Pada 6 Oktober 1942 dikeluarkan peraturan penetapan harga pembuatan pas foto senilai 0,75 gulden per buah. Di beberapa daerah dikeluarkan peraturan larangan jual-beli peralatan fotografi. Mereka yang melakukan aktivitas fotografi tanpa izin dianggap mata-mata. Kenyataannya, orang Jepang-lah yang melakukan kegiatan spionase pada masa Hindia-Belanda. ’Tahun 1942-1945 adalah masa sulit. Perkembangan fotografi, khususnya di Bandung, tidak ada’, tulis Deni Sugandi (2015).
Pada awal bulan November 1943, Bung Karno, Bung Hatta, dan Ki Bagus Hadikoesoemo, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, memenuhi undangan Pemerintah Jepang di Tokyo. Hatta dalam otobiografinya, Menuju Gerbang Kemerdekaan. Untuk Negeriku (2014), menulis, dia ditugaskan untuk mempelajari tentang Nippon Sheishin (semangat Jepang). Sepulangnya dari Jepang, Hatta harus menulis buku tentang hal tersebut yang dapat dibaca oleh rakyat Indonesia.