”Aku dipanggil baboe. Aku tidak kenal kata itu. Itu kata Belanda. Sepertinya mereka sekaligus mau bilang dua kata. Badari kata mbakdan boedari kata iboe. Baboe,” tutur narator dalam film‘Ze Noemen Me Baboe’ (Mereka Panggil Aku Babu).Film dokumenter yang dirilis pada 2019karya Sandra Beerends, sutradara Belanda kelahiran Amsterdam, menggambarkan kehidupan baboe di akhir periode kolonial Hindia Belanda. Suara narator mewakili suara Alima, seorang gadis bumiputra berusia 20 tahun dari Jawa Tengah yang pindah ke Bandung untuk mencari pekerjaan. Ia kemudian bekerja sebagai pengasuh anak sebuah keluarga Belanda yang akan pergi ke Belanda.
Keberadaan baboe (babu) dalam sejarah mungkin dianggap kalah penting jika dibandingkan tokoh-tokoh besar yang mampu mengubah sejarah. Bahkan, pada masa kolonial, babu seolah dianggap tidak ada. Padahal, dalam keseharian sebuah keluarga Belanda, babu berperan ’penting’ mengasuh anak-anak majikan mereka yang kerap dipanggil sinyo dan noni. Jejak ’penting’ itu terbukti jika kita menelusuri rekaman visual mereka yang terabadikan dalam foto-foto masa Hindia Belanda.
Selain jejak foto, ada pula gambar-gambar yang menampilkan sosok babu, terutama dalam buku pelajaran untuk anak-anak Belanda. Sebagai contoh ilustrasi karya J van der Heyden (1900) untuk kartu pos bergambar seorang babu sedang menggendong seorang anak Eropa. Dalam Indisch prentboek 1:bedienden en beroepen (1909) J van der Heyden juga membuat ilustrasi babu yang tampaknya diambil dari foto.