FotografiKlinik FotoMetode (Hari Kasih Sayang)...
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Bebas Akses

Metode (Hari Kasih Sayang) Jakarta

Tribute untuk Aksi Kamisan yang konsisten hadir untuk menuntut negara menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Oleh
OSCAR MOTULOH
· 8 menit baca
Vokalis dan basis Sting mengobati kerinduan para penggemarnya dalam konser yang bertajuk Back to Bass Tour<i></i>di Mata Elang Internastional Stadium Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (15/12/2012).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Vokalis dan basis Sting mengobati kerinduan para penggemarnya dalam konser yang bertajuk Back to Bass Tourdi Mata Elang Internastional Stadium Ancol, Jakarta Utara, Sabtu (15/12/2012).

Penggawa trio Post-Punk Inggris yang tangguh itu berhasil memetakan tak sekadar perihal proyeksi diri. Namun, bagaimana dirinya yang dikenal sebagai Sting tetap menyengat dalam merintis jalan solo dalam kariernya. Debut album Dream of the Blue Turtles pada tahun 1985 mengubur harapan sahabatnya agar ia tak membunuh Sang Polisi pada saat mereka berada di puncak kekuasaan. Grup Police, bagi Sting adalah masa lalu. Seraya mengajak gacoan jazzer muda kala itu; Branford Marsalis, Omar Hakim, Kenny Kirkland, dan Darryl Jones, untuk menemaninya masuk ke pentas karakter dan kematangannya sebagai musikus.

Sting memutuskan jazz adalah peta jalannya. Roots yang lekat dengan kemerdekaan, sekaligus penderitaan. Keberadaan dia sebagai aktivis lingkungan menjadi cap industri musiknya. Meskipun ketangguhannya menulis lirik toh menjerumuskannya ke dalam sejumlah komposisi yang mengandung protes kemanusiaan, yang tentu tak terhindarkan untuk dipandang sebagai suatu sikap politik. Album solo keduanya, ”….Nothing Like the Sun” membuatnya menjadi suara bagi mereka kelu nan terpinggirkan oleh intrik dan kezaliman politik.

They Dance Alone adalah salah satu komposisi yang menjadi anthem bagi orang-orang yang kehilangan insan-insan yang paling mereka sayangi. Dalam komposisi balada perkabungan, bahkan terdengar seperti requiem. Dalam lirik empati yang dalam, Sting dengan eksplisit menunjuk hidung diktator Chile, Jenderal Augusto Pinochet, sebagai pembantai ribuan rakyatnya sendiri. Di Chile, jenderal boneka CIA itu adalah penguasa neraka. Lalu komposisi itu sontak dilarang diperdengarkan di seluruh tanah Chile.

Hey Mr. Pinochet/

Youve sown a bitter crop/

Its foreign money that supports you/

One day the moneys going to stop/

No wages for your torturers/

No budget for your guns/

Can you think of your own mother/

Dancing with her invisible son/

Dancing with the missing/

Dancing with the dead/

They dance with the invisible ones/...

Nyala lilin dan ponsel oleh massa di depan Istana Kepresidenan La Moneda di Santiago, Chile, 2023. Demonstrasi itu untuk memperingati 50 tahun kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet melawan sosialis Presiden Salvador Allende.
AFP/PABLO VERA

Nyala lilin dan ponsel oleh massa di depan Istana Kepresidenan La Moneda di Santiago, Chile, 2023. Demonstrasi itu untuk memperingati 50 tahun kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet melawan sosialis Presiden Salvador Allende.

Ellas Danzan Solas (They Dance Alone)—juga disadur ke dalam bahasa Spanyol—bercerita tentang kesedihan mendalam yang dialami para perempuan Chile yang memperagakan tarian Cueca (tari nasional Chile) sambil membawa foto dari anak laki-laki, saudara laki-laki, dan suami mereka yang hilang pada masa pemerintahan diktator Pinochet. Tarian nasional ini tadinya selalu hadir dalam peringatan hari kemerdekaan negeri mereka. Namun, sejak kudeta militer, dengan cerdik, cueca dimaknai sebagai tarian protes kepada rezim Pinochet yang zalim. Para ibu dan perempuan mengenakan busana hitam, menari sendiri dengan mengacungkan tangan kanan memegang scarf atau selendang yang melambangkan mereka seolah berdansa dengan orang-orang tercinta mereka yang tak pernah kembali.

Rezim Pinochet berkuasa di Chile antara tahun 1973 dan 1990. Selama junta militer tersebut berkuasa, ribuan nyawa hilang. Menurut Sting, lagu tersebut merupakan simbol pengakuan akan kekuatan sisi feminis perempuan yang mampu dengan cerdas melawan tirani tanpa kekerasan. Dalam balada itu, Sting ditemani sahabat-sahabatnya, Eric Clapton, Fareed Haque dan Mark Knopfler pada gitar, Branford Marsalis pada saksofon, ditambah vokalis salsa Panama, Rubén Blades. Dia melengkapi vokal tambahan dalam bahasa Spanyol. ”Ellas Danzan Solas” dan dirilis pada EP Nada Como el Sol tahun 1988.

Warga menyalakan lilin di gerbang Stadion Nasional yang digunakan sebagai pusat penahanan dan penyiksaan di masa kediktatoran Jenderal Augusto Pinochet yang menjabat presiden Chile pada kurun waktu 1973-1990, saat peringatan Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa di Santiago, Senin (30/8/2021).
CR

Warga menyalakan lilin di gerbang Stadion Nasional yang digunakan sebagai pusat penahanan dan penyiksaan di masa kediktatoran Jenderal Augusto Pinochet yang menjabat presiden Chile pada kurun waktu 1973-1990, saat peringatan Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa di Santiago, Senin (30/8/2021).

Setelah kediktatoran Pinochet berakhir. Sting diundang ke Chile untuk menggelar konser di Stadion Nasional Santiago, dalam sebuah acara rekonsiliasi yang diprakarsai Amnesty International pada tahun 1988. Di stadion itu, rezim Pinochet membantai musuh-musuh politiknya. Sampai Costa-Gavras, sutradara Perancis-Yunani beken, menariknya ke layar perak dengan setting utama, stadion terkenal itu. Tempat sakral bagi timnas Brasil yang berhasil mempertahankan supremasi Piala Dunia untuk kedua kalinya pada tahun 1962. Dengan khidmat, Sting menembangkan bait demi bait untuk kekerasan yang masih terus bergejolak sampai detik ini. Seperti Soeharto, pengadilan atas dirinya tak pernah terlaksana sebab sang diktator keburu mati.

Kritikus menuliskan, “La Cueca Sola” sejatinya tak diperuntukkan untuk pertunjukan akbar seperti di Stadion Nasional, dan tidak pernah dimaksudkan untuk membuat sedih. Suasana sejatinya adalah perdesaan karena lebih terasa seperti di rumah sendiri. Mungkin di halaman kapela desa, dengan semua debu yang beterbangan dan kebisingan kampung halaman. Disertai aroma anggur dan empanada goreng yang menggantung di udara.

Grafiti di tembok dan dinding metropolis telah menjadi sarana ekspresi para seniman jalanan. Namun, zaman meluaskannya tak hanya milik mereka, tetapi juga milik siapa pun yang ingin menjadikannya sebagai suara demokrasi. Di Jakarta dan kota besar Indonesia, setelah kekalahan bala tentara Jepang, grafiti pro-kemerdekaan terpampang di dinding-dinding dan tembok jalan protokol. Namun, coretan kebencian dan kutukan pembunuhan juga menghiasi tembok-tembok kota saat Bung Karno, presiden pertama RI disingkirkan militer pada tahun 1965.

Presiden Soekarno di hadapan para kader pembela Pancasila, 18 Juni 1954.
IPPHOS

Presiden Soekarno di hadapan para kader pembela Pancasila, 18 Juni 1954.

Hanya tiga tahun berselang setelah Jenderal Soeharto resmi menggantikan Bung Karno yang kemudian berpulang dalam status tahanan rumah pada bulan Juni 1970, CIA telah mengekspor buah tangan kotornya di Jakarta, ke Amerika Latin. Dalam hal ini ke kota Santiago, Chile. Menyusul inagurasi Salvador Allende dari Partai Sosialis sebagai presiden Chile pada November 1970. Vincent Bevins, wartawan kawakan yang pernah bertugas dua tahun di Jakarta sebagai koresponden Washington Post dan enam tahun di Brasil untuk Los Angeles Times, menulis, ”The Jakarta Method: Washingtons Anticommunist Crusade and the Mass Murder Program that Shaped Our World (2020)”.

Pada awal pemerintahan sosialis Allende, pesan-pesan misterius mulai muncul di tembok ibu kota Santiago. Dicoret di dinding-dinding lingkungan masyarakat berada, bahkan di kartu pos yang dikirim ke rumah pejabat pemerintah sayap kiri dan para anggota partai. Pesan sesungguhnya adalah kata sandi yang menyatakan, ”Jakarta akan datang (Jakarta se acerta)”. Jika pesan-pesan ini muncul sepuluh tahun sebelumnya, mungkin pesan-pesan ini dianggap sebagai tanda harapan. Pada tahun 1950-an dan awal 1960-an, Presiden Soekarno dari Indonesia adalah tokoh terkemuka dalam gerakan global untuk netralitas dan anti-imperialisme Dunia Ketiga.

Di tahun 1970 itu, kelompok sayap kiri Chile menyadari ”Jakarta akan datang” sebagai ancaman yang mengandung pesan kekerasan. Firasat itu menjadi kenyataan saat junta militer pimpinan Jenderal Augusto Pinochet menyerang istana negara dan melakukan kudeta atas pemerintahan yang sah. Allende bertahan di Istana Kepresidenan Chile, Palacio de la Moneda, di ibu kota Santiago. Dalam kepungan junta, Allende memutuskan bunuh diri menggunakan senjata AK-47, senjata buatan Uni-Soviet yang merupakan hadiah dari Fidel Castro.

Demonstran memegang potret orang-orang yang hilang selama kediktatoran militer (1973-1990) saat memperingati 50 tahun kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet.
AFP/JAVIER TORRES

Demonstran memegang potret orang-orang yang hilang selama kediktatoran militer (1973-1990) saat memperingati 50 tahun kudeta militer yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet.

Hari berdarah itu, tanggal 11 November 1973. Beberapa saat sebelum Allende mangkat, dia sempat mengudara melalui Radio Magallanes, menyampaikan pidato terakhirnya secara langsung.

”Para pekerja di negaraku, aku percaya pada Chile dan nasibnya. Orang-orang lain akan mengatasi momen kelam dan pahit ini bersamaan dengan pengkhianatan berusaha untuk terus merajalela. Ingatlah bahwa, lebih cepat lagi, jalan raya akan kembali terbuka, di mana orang-orang merdeka ada, untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Hidup Chile! Hidup rakyat! Hidup para pekerja!”

Aksi Kamisan ke-806 digelar di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (22/2/2024).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Aksi Kamisan ke-806 digelar di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (22/2/2024).

Indonesia pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an berada di bawah pemerintahan otoriter Mayjen Soeharto, yang naik ke tampuk kekuasaan dengan menghentikan upaya kudeta pada tahun 1965. Ketika Soeharto mengonsolidasikan kekuasaan, para pengikutnya membantai orang-orang yang diduga komunis di seluruh negeri. Mereka, versi Bevins, membunuh antara 500.000 orang dan 1 juta orang. Dalam waktu singkat, gerakan ini dilenyapkan dan Jakarta menjadi pusat seruan anti-komunisme yang penuh kekerasan.

Dalam ”Metode Jakarta (Jakarta Method)”, Bevins coba menjawab bagaimana Indonesia bisa dengan cepat berubah dari mercusuar harapan anti-imperial menjadi benteng anti-komunisme yang penuh kekerasan? Mengapa sejarah kelam kekerasan di Indonesia begitu tidak diketahui saat ini? Dan bagaimana gagasan ”metode Jakarta” sampai ke negara-negara seperti Chile dan Brasil?

Bagi sebagian orang, penghilangan, penyiksaan, dan pembunuhan di luar proses hukum terhadap lawan-lawan politik mungkin tampak seperti sisa-sisa Perang Dingin. Namun, kediktatoran militer mewabah di Amerika Latin pada era 1970-an dan 1980-an. Rezim otoriter, yang didukung oleh AS dalam upayanya mengendalikan komunisme di wilayah tersebut, bermunculan di Chile, Argentina, Brasil, Uruguay, Bolivia, Paraguay, Nikaragua, Honduras, Guatemala, dan El Salvador. Pasukan khusus AS melatih dengan brutal tentara asing yang dilatih dengan teknik brutal untuk memberantas pemberantasan komunisme. Washington tampaknya tak menginginkan ada Kuba atau Vietnam lainnya.

Dari Chile, nurani menghubungkannya kembali ke Jakarta. Kelompok musik Efek Rumah Kaca (ERK) menghamparkan empati yang sama, dengan komposisi berjudul ”Jingga”, salah satu spektrum warna yang tertera dalam nomor dalam album mereka. ”Jingga” dipersembahkan untuk 13 aktivis prodemokrasi 1996-1998 yang hilang dan tak ketahuan rimbanya sampai hari ini.

Ibunda dari Wawan, korban Tragedi Semanggi 1, Sumarsih, mengikuti Aksi Kamisan Ke-500 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/7/2017).
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Ibunda dari Wawan, korban Tragedi Semanggi 1, Sumarsih, mengikuti Aksi Kamisan Ke-500 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/7/2017).

Mural di papan kayu dipajang saat Aksi Kamisan Ke-500 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/7/2017).
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Mural di papan kayu dipajang saat Aksi Kamisan Ke-500 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (27/7/2017).

Pada 27 Juli 2017, bersama beberapa simpatisan Aksi Kamisan, ERK tampil dalam acara ”500 Kamis” yang digelar di seberang halaman Istana Merdeka. Hari itu adalah penyelenggaraan Kamisan yang ke-500, sejak pertama kali dilaksanakan pada 18 Januari 2007.

Namun, ”Jingga” juga adalah representasi suara segenap korban yang hilang karena kezaliman pemerintah otoriter dan junta militer mereka. Tribute untuk Aksi Kamisan yang konsisten hadir untuk memperjuangkan tuntutan kepada negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia adalah sebuah gerakan moral yang penting.

Dirilis Desember 2015, gitaris-vokal, Cholil Mahmud, menuliskan lirik yang terdiri dari tiga bagian (1. Hilang, 2. Nyala Tak Terperi, dan 3. Cahaya, Ayo Berdansa) di antaranya:

Rindu kami seteguh besi/

Hari demi hari menanti/

Tekad kami segunung tinggi/

Takut siapa? Semua hadapi/

Yang hilang menjadi katalis/

Disetiap kamis Nyali Berlapis/

Marah kami Senyala api/

Di depan istana berdiri/

Yang hilang menjadi katalis/

Disetiap kamis Nyali berlapis/

Yang ditinggal/

Takkan pernah diam/

Mempertanyakan kapan pulang?/...

Pada 15 Februari 2024, tokoh penggerak Aksi Kamisan, Ibu Sumarsih dan para aktivis, mahasiswa, dan elemen masyarakat mengacungkan kartu merah dan kuning sebagai peringatan agar pemerintah menuntaskan tragedi HAM berat yang pernah terjadi di Tanah Air. Aksi Kamisan hari itu merupakan aksi ke-805. Digelar sehari setelah masyarakat Indonesia melakukan pencoblosan untuk memilih presiden baru. Sebuah paradoks yang bertepatan jatuh pada Hari Kasih Sayang. Memilih Presiden kedelapan RI yang seyogianya tak terlibat dalam kasus-kasus orang hilang seperti yang dilakukan junta militer Jenderal Pinochet dengan ”Metode Jakarta”-nya.

Oscar Motuloh

mataWaktu

Memuat data...
Memuat data...