Pergi haji (hajj) adalah kegiatan mengunjungi Baitullah (Kabah) di kota suci Mekkah dan sekitarnya (Arafah, Muzdalifah, Mina) pada bulan Syawal, Zulkaidah (8-13 Zulhijah) sesuai dengan syarat dan rukun yang berlaku. Bagi umat Islam, kegiatan haji adalah ibadah wajib yang dilakukan sekali seumur hidup karena ibadah haji merupakan penyempurna rukun Islam. Oleh karena itu, setiap Muslim yang beriman begitu mendambakan kesempatan untuk dapat pergi menunaikan ibadah haji.
Di Indonesia dikenal berbagai istilah yang berhubungan dengan ibadah ini. Istilah tersebut seperti ”naik haji”, ”musim haji”, serta gelar ”haji” untuk pria dan ”hajah” untuk perempuan yang disematkan di depan nama. Mereka yang pulang dari menunaikan ibadah ini oleh masyarakat dipanggil dengan menggunakan gelar ini. Pemerintah kolonial-lah yang mulai ”melegalkan” gelar tersebut. Tujuannya adalah supaya pemerintah lebih mudah mengawasi mereka yang pulang dari ibadah haji karena dianggap kerap memiliki keinginan memberontak.
Pada 1825, untuk melakukan pengawasan, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan resolutie pelaksanaan ibadah haji. M Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008) menyebutkan, peraturan tersebut mengenai pembatasan kuota dan pengawasan gerak-gerik jemaah. Selain itu juga mengenai penetapan ongkos naik haji sebesar 110 gulden, termasuk paspor untuk ibadah haji. Namun, peraturan ini tidak begitu dipatuhi karena dianggap banyak merugikan jemaah. Oleh karena itu, pemerintah menyempurnakan peraturan dengan mengubahnya pada 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan 1922.