Setiap orang pasti mempunyai satu perjalanan ke sebuah kota yang meninggalkan kesan mendalam. Hadir di sebuah tempat yang belum pernah dikunjungi seperti memindahkan raga. Di tempat itu, semua seperti hal yang baru dan merangsang indera kita. Terkadang, kesan pertama itu begitu indah dan tak terlupakan. Mungkin saja bukan kotanya yang disinggahi, melainkan bagaimana perjalanan menuju ke kota tersebut yang akan dikenang.
Sebagai orang Indonesia, kita mempunyai kemewahan untuk menentukan arah perjalanan. Negara kita yang berpulau-pulau serta beragam suku dan kebudayaan adalah kumpulan titik yang menunggu kita kunjungi. Terkadang perjalanan bisa ditempuh sesaat, tapi ada kalanya penuh dengan perjuangan. Mungkin saja jika seseorang ditanya ingin berkunjung di daerah mana di negeri ini, jawabannya adalah menginjakkan tanah di pulau Papua. Pulau di paling timur Indonesia ini adalah tempat yang menyajikan imaji tentang eksotisnya Nusantara.
Pada November 2017, saya berkunjung ke Distrik Mulia, kota kecil yang berada di lembah pegunungan Jayawijaya, Papua. Saya bersama reporter Kompas, Sarie Febriane, bergabung dengan tim dari Suistainable Coffee Platform of Indonesia (SCOPI) untuk melihat program edukasi memanem kopi di Distrik Mulia. Perjalanan dengan pesawat dari Kota Wamena menuju Distrik Mulia bukanlah perjalanan kelas bisnis dengan tempat duduk mewah dan program acara pilihan di monitor di belakang kursi. Pesawat yang dinaiki adalah pesawat kecil yang bisa menjangkau tempat-tempat yang berada di tengah pegunungan. Dalam perjalanan, guncangan secara konstan hadir dan saat mendarat kita selalu berharap tidak akan pernah mengalami penerbangan seperti itu lagi. Meski menegangkan, perjalanan menuju Distrik Mulia cukup memanjakan mata. Liuk hutan hijau dan rimbun serta bayangan pesawat yang jatuh di atasnya menjadi teman perjalanan. Sebuah landasan untuk pesawat terbang di tengah bukit membuat kami berpikir ngerinya mendarat di tempat tersebut.