10 Tahun Bangun Konektivitas Daring Pemersatu Indonesia
Untuk menutup kesenjangan layanan telekomunikasi, perlu memanfaatkan teknologi digital.
Pembangunan infrastruktur telekomunikasi dan informasi digenjot dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pembangunannya bahkan sampai menyasar desa dan kelurahan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Harapannya, dari hasil pembangunan itu bisa membuka peluang pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Fadhilah Mathar mengatakan, pada tahun 2038 atau tujuh tahun sebelum perayaan 100 tahun Indonesia merdeka, Indonesia diproyeksikan meraih produk domestik bruto (PDB) per kapita sekitar 15.700 dollar AS atau tiga kali lipat dari tahun 2023. Namun, dengan asumsi pertumbuhan business-as-usual, proyeksi PDB per kapita hanya akan tumbuh sebesar dua kali lipat.
”Untuk menutup kesenjangan, perlu memanfaatkan digital. Kalau Indonesia mau menuju negara maju atau meninggalkan jebakan kelas menengah, pertumbuhan PDB harus disokong dengan digitalisasi industri,” ujarnya saat dihubungi pada Selasa (8/10/2024) di Jakarta.
Maka, Bakti sebagai badan layanan umum (BLU) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berkomitmen menyediakan akses internet untuk wilayah-wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) lalu menyambungkan secara daring atau menyediakan konektivitas internet untuk lokasi-lokasi layanan publik.
Per 8 Oktober 2024, konektivitas yang disediakan oleh Bakti Kemenkominfo untuk masyarakat adalah total akses internet yang sudah mencapai di 23.969 lokasi, total menara pemancar 4G yang sudah menyala ada di 6.986 lokasi, jaringan tulang punggung Palapa Ring sepanjang 12.229 kilometer, dan satelit multifungsi Satria-1 dengan kapasitas 150 gigabit per detik (Gbps).
Bakti Kemenkominfo juga telah melakukan implementasi 44 digital ekosistem sebagai platform digital. Sebagai contoh, terkait layanan digital, sebanyak 7.274 area dan desa menggunakan platform digital Sideka.
”Karena dalam 10 tahun ini, pemerintah menaruh perhatian pada Pulau Papua, maka hampir semua kabupaten di sana sudah disediakan akses ke infrastruktur jaringan telekomunikasi. Walaupun, memang tidak semuanya memakai teknologi akses seluler. Ada pembangunan jaringan Wi-Fi di fasilitas layanan publik,” ucapnya.
Lebih jauh, Fadhilah menyebutkan, peluncuran satelit multifungsi Satria-1 pada 18 Juni 2023 menjadi game changer. Artinya, dengan wilayah geografis Indonesia yang kepulauan, pembangunan akses telekomunikasi tidak mungkin hanya mengandalkan kabel optik dan menara pemancar. Satelit Satria-1 membantu menutup kebutuhan di daerah terpencil yang selama ini sukar dijangkau oleh infrastruktur kabel optik ataupun menara pemancar.
”Kami percaya keberadaan Satria-1 bisa berdampak besar terhadap aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan masyarakat di daerah terpencil. Permintaan layanan publik pendidikan di daerah terpencil, misalnya, akan lebih gampang terpenuhi sejak Satria-1 yang notabene milik pemerintah,” katanya.
Dalam laporan infografis Lompatan Transformasi Digital: No One Left Behind yang dirilis 20 September 2024, Presiden Joko Widodo dalam sepuluh tahun pemerintahan mengarahkan percepatan infrastruktur telekomunikasi, pengembangan e-dagang, penguatan logistik pedagang, penyiapan sumber daya manusia digital, dan percepatan penyelesaian regulasi. Dari arahan tersebut, program Kemenkominfo untuk transformasi digital Indonesia adalah sistem pemerintahan berbasis elektronik, keamanan digital dan tata kelola data, digitalisasi sektor, e-dagang, dan konektivitas.
”Pada tahun 2014, penetrasi internet di Indonesia masih sekitar 35 persen. Lalu, pada tahun 2024 hampir 80 persen. Jadi, selama 10 tahun terjadi lompatan penetrasi internet,” ujar Sekretaris Jenderal Kemenkominfo Mira Tayyiba.
Kenaikan penetrasi internet itu di antaranya disumbang oleh peran Bakti Kemenkominfo. Dalam segi pembangunan infrastruktur menara pemancar 4G di desa/kelurahan 3T, misalnya, pada tahun 2015 Bakti berkontribusi menyediakan lima menara pemancar 4G. Jumlah menara pemancar setiap tahun naik. Berturut-turut pada 2016 tercatat 111 menara pemancar, 2017 ada 504 menara pemancar, 2018 terdapat 908 menara pemancar, 2019 sejumlah 1.230 menara pemancar, dan 2020 terbangun 1.682 menara pemancar.
Kemudian, pada 2021 terdapat 4.197 menara pemancar, 2022 sebanyak 5.487 menara pemancar, 2023 ada 6.672 menara pemancar, dan per 8 Oktober 2024 mencapai 6.986 menara pemancar.
Pembangunan selama 10 tahun terakhir mampu mengurangi wilayah yang tidak bisa menerima sinyal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah wilayah desa/kelurahan yang tidak ada sinyalnya berkurang 2.559 dalam kurun 2014–2021. Jumlah desa yang memiliki BTS bertambah 11.978 pada periode tersebut.
Berdasarkan data BPS, pada 2021 terdapat 78.938 desa dan kelurahan yang telah dapat menerima sinyal telepon seluler. Jumlah tersebut bertambah 4.465 desa dibandingkan 2014, yakni 74.473 desa.
Di luar penyediaan infrastruktur fisik, seperti menara pemancar 4G, jaringan tulang punggung Palapa Ring, dan satelit multifungsi Satria-1, Mira menyebutkan, kenaikan penetrasi internet yang signifikan selama 10 tahun juga didukung oleh penataan ulang dan lelang spektrum frekuensi. Penataan ulang spektrum frekuensi dilakukan pada akhir 2014 dengan sasaran spektrum 800 megahertz (MHz).
”Penetrasi internet naik cukup signifikan mulai tahun 2018 karena sebelumnya pada tahun 2017 kami menggelar lelang spektrum frekuensi radio 2,1 gigahertz (GHz) dan 2,3 GHz,” klaimnya.
Selanjutnya, lahirnya UU Cipta Kerja memberi keleluasaan bagi operator telekomunikasi seluler untuk berbagi infrastruktur pasif ataupun aktif. UU ini juga memperbolehkan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi antar-operator telekomunikasi.
Pekerjaan rumah
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Zulfadly Syam, yang ditemui di sela-sela acara ”Darurat RT/RW Net, Tanggung Jawab Siapa?”, Selasa, di Jakarta, mengatakan, pada era pemerintahan presiden Joko Widodo lahir cita-cita ”tol langit” untuk menunjang pertumbuhan perekonomian dan mempermudah pelayanan dasar kepada masyarakat. Konsep utama dari cita-cita ini sebenarnya adalah akses internet yang semakin merata dan berkualitas.
Hanya saja, dia memandang, realisasi dari cita-cita itu masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah. Misalnya, terkait pemerataan akses internet di darat di daerah tertinggal. Era pemerintahan Presiden Joko Widodo menggagas pembangunan menggunakan menara pemancar dan ini pun sempat tersandung kasus korupsi.
”Di luar terpaan kasus korupsi, pembangunan akses internet di daerah tertinggal sebenarnya bukan hanya memakai teknologi wireless. Harusnya, pemerintah menggencarkan juga pemakaian fiber optik,” ujarnya.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menyelesaikan pembangunan infrastruktur jaringan tulang punggung Palapa Ring. Meski selesai, proyek ini menyisakan isu keandalan jaringan yang masih butuh perbaikan.
Sejak diresmikan pada Oktober 2019 hingga sekarang, Zulfadly menyebutkan baru 26 perusahaan telekomunikasi yang menggunakan Palapa Ring. Tingkat utilisasi Palapa Ring sampai sekarang belum maksimal lantaran masih kurang pembangunan jaringan akses yang menghubungkan hingga pemukiman.
Akan tetapi, belum tuntas isu yang dialami Palapa Ring, pemerintah meluncurkan proyek satelit multifungsi Satria-1, tetapi juga menyisakan isu. Salah satunya ialah model bisnis Satria-1 yang belum solid.
”Apa yang dicita-citakan mengenai tol langit, kami menilai bahwa konsepnya bagus, tetapi pada pelaksanaannya terlihat kurang diskusi dengan praktisi-praktisi teknologi. Apalagi, dalam perjalanan operasional proyek menara pemancar untuk daerah pinggiran, Palapa Ring, dan Satria-1, masih tetap saja muncul praktik bisnis ilegal jaringan internet mandiri yang berwujud RT/RW net.
Dia menyimpulkan, realisasi dari cita-cita tol langit membutuhkan banyak perbaikan sehingga akses internet semakin merata dan berkualitas, tidak parsial seperti saat ini.
Dari sisi regulasi, Zulfadly melanjutkan, isunya pun sama. Ada beberapa regulasi yang diperbaiki dan ada yang tidak. Terkait Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, misalnya, selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo juga tidak dilakukan revisi secara menyeluruh.
”Ada sedikit perubahan UU Nomor 36 Tahun 1999 di UU Cipta Kerja, tetapi itu pun sifatnya bukan mengubah, melainkan menambahkan. Misalnya, ketentuan berbagi pakai bersama infrastruktur dan kemudahan perizinan pembangunan jaringan. Padahal, dalam rentang waktu 10 tahun pula dunia industri telekomunikasi mengalami banyak perubahan teknologi dan model bisnis, yang bukan hanya menuntut pemerataan infrastruktur jaringan telekomunikasi,” paparnya.
Berangkat dari berbagai pekerjaan rumah itu, dia melanjutkan, pemerintahan yang akan datang semestinya punya kebijakan teknologi informasi komunikasi yang utuh dan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat.
Sebagai negara kepulauan, dukungan pemerintah untuk pemerataan pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi semestinya tidak digeneralisasi. Pembangunannya semestinya berdasarkan realita kebutuhan per pulau.
Misalnya, APJII mengamati kondisi jaringan telekomunikasi di Indonesia bagian timur masih kurang, bahkan belum ada international gateway di sana. Sementara operator telekomunikasi swasta enggan membangun di sana karena daerahnya dianggap kurang komersial.
”Dengan kondisi seperti itu, pemerintah semestinya yang masuk membangun,” kata Zulfadly.
Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo berpendapat, secara fundamental, program pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang dilakukan Kemenkominfo sudah sesuai tugas dan fungsi kementerian. Kementerian juga telah menerapkan teknologi terkini untuk merealisasikan program pembangunan infrastruktur telekomunikasi itu.
Tentang proyek infrastruktur Palapa Ring, Satria-1, dan menara pemancar di daerah pinggiran, Agung sepakat dengan Zulfadly bahwa ketiga proyek tersebut butuh ditingkatkan mutunya. Masyarakat yang dilayani dengan tiga proyek itu, oleh Kemenkominfo, sebenarnya dapat ditanya evaluasi.
”Evaluasi berdasarkan asas manfaat. Misalnya, seberapa merata akses jaringan, seberapa besar penggunaan, seberapa besar pertumbuhan ekonomi dari tiga proyek itu, dan seberapa besar pertambahan kesempatan belajar dari masyarakat daerah pinggiran sejak tiga proyek itu hadir,” ujar Agung.