logo Kompas.id
EkonomiInfrastruktur, Modal...
Iklan

Infrastruktur, Modal Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia memiliki infrastruktur hasil pembangunan selama 2014-2024. Selain beberapa catatan, ini merupakan modal dasar.

Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA, DIMAS WARADITYA NUGRAHA
· 7 menit baca
Presiden Joko Widodo ketika memberikan keterangan pers seusai peletakan batu pertama proyek infrastruktur di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Rabu (25/9/2024).
BIRO PERS SEKRETARIAT PRESIDEN/KRIS

Presiden Joko Widodo ketika memberikan keterangan pers seusai peletakan batu pertama proyek infrastruktur di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, Rabu (25/9/2024).

JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan infrastruktur selama tahun 2014-2024 menjadi modal akselerasi pertumbuhan ekonomi menuju Indonesia maju. Optimalisasi jadi salah satu catatannya.

Pemerintahan Presiden Jokowi melalui Kabinet Kerja pada 2014-2019 dan Kabinet Indonesia Maju pada 2019-2024 melaksanakan pembangunan pada dua periode pemerintahan. Sejumlah capaian ditorehkan, termasuk pembangunan infrastruktur. Ada pula catatannya.

Selama 10 tahun ini, kita telah mampu membangun sebuah fondasi dan peradaban baru, dengan pembangunan yang Indonesia-sentris, membangun dari pinggiran, membangun dari desa, membangun dari daerah terluar.

Presiden Jokowi menyampaikan capaian pembangunan selama 2014-2024 secara umum pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT Ke-79 Proklamasi Kemerdekaan RI, 16 Agustus 2024.

”Selama 10 tahun ini, kita telah mampu membangun sebuah fondasi dan peradaban baru, dengan pembangunan yang Indonesia-sentris, membangun dari pinggiran, membangun dari desa, membangun dari daerah terluar,” kata Presiden.

Selama 2014-2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di 5 persen. Ini dengan asumsi, pertumbuhan selama pandemi Covid-19 dikeluarkan dari perhitungan karena situasinya spesifik. Sementara untuk naik kelas dari negara berpendapatan menengah ke tinggi, ekonomi Indonesia butuh tumbuh sekurang-kurangnya 6 persen per tahun.

Bendungan Raknamo di Desa Raknamo, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (21/9/2024).
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Bendungan Raknamo di Desa Raknamo, Kecamatan Amabi Oefeto, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (21/9/2024).

Sampai dengan pertengahan Agustus, menurut Presiden, pemerintah telah membangun 366.000 kilometer (km) jalan desa, 1,9 juta meter jembatan desa, 2.700 km jalan tol baru, 6.000 km jalan nasional, 50 pelabuhan dan bandara baru, serta 43 bendungan baru dan 1,1 juta hektar jaringan irigasi baru.

Melalui pembangunan infrastruktur itu, Presiden mengklaim, pemerintah sukses menurunkan biaya logistik dari 24 persen menjadi 14 persen pada 2023. Dengan demikian, Indonesia bisa meningkatkan daya saing dari sebelumnya peringkat ke-44 menjadi peringkat ke-27 pada 2024.

Indonesia, Presiden melanjutkan, merupakan satu dari sedikit negara yang mampu pulih lebih cepat dari pandemi Covid-19, bahkan terus bertumbuh. ”Pertumbuhan ekonomi kita terjaga di kisaran 5 persen walau banyak negara tidak tumbuh, bahkan melambat. Wilayah Indonesia timur, seperti Papua dan Maluku, justru mampu tumbuh di atas 6 persen dan Maluku Utara mampu tumbuh di atas 20 persen,” kata Presiden.

Suasana ruang tunggu baru untuk penerbangan domestik di Bandara Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat, Senin (1/7/2024).
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

Suasana ruang tunggu baru untuk penerbangan domestik di Bandara Internasional Lombok, Nusa Tenggara Barat, Senin (1/7/2024).

Optimalisasi

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa, Rabu (2/10/2024), mengatakan, pembangunan infrastruktur adalah modal akselerasi pertumbuhan ekonomi. Kuncinya terletak pada optimalisasinya.

”Infrastruktur sering disebut kegiatan ekonomi yang tidak bisa diperdagangkan. Kita berharap, dengan tersedianya infrastruktur bisa terbentuk kegiatan ekonomi yang bisa diperdagangkan yang lebih besar, paling tidak bisa mencapai 50 persen dari PDB dari yang sekarang 38 persen,” katanya.

Pekerjaan rumah berikutnya, Suharso menekankan, adalah mengoptimalisasi infrastruktur yang sudah terbangun. Caranya, dengan intervensi-intervensi yang harus lebih spesifik.

Baca juga: Kendati Masif, Manfaat Pembangunan Infrastruktur Belum Optimal

Secara spesifik, ia mengangkat pembangunan bendungan selama 10 tahun terakhir. Sampai dengan akhir September 2024, pemerintah telah meresmikan 46 bendungan di sejumlah daerah.

”Dari jumlah itu, yang sudah bisa efektif bekerja karena airnya sudah ada hingga untuk memenuhi keperluan irigasi tersier ada sekitar 27-28 bendungan. Pemerintahan selanjutnya tinggal melanjutkan pembangunan irigasi teknis dari bendungan yang sudah tersedia,” ujarnya.

Menteri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa
KOMPAS/HENDRICUS ARGA YUDHANTARA

Menteri Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa

Juru Bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Endra S Atmawidjaja mengatakan, infrastruktur merupakan kebutuhan dasar dan prasyarat untuk mendorong perekonomian Indonesia lebih tinggi lagi di masa mendatang. Infrastruktur merupakan landasan dan fondasi yang diperlukan untuk mengisi sendi-sendi mobilitas yang mendorong pertumbuhan ekonomi.

”Saya kira dasar-dasar ini sudah diletakan Presiden Jokowi selama 10 tahun pemerintahannya. Jadi, kami bangun infrastruktur bukan untuk gagah-gagahan atau ambisi besar,” ujar Endra dalam diskusi berjudul ”Mengawal 10 Tahun Pembangunan Infrastruktur”, Senin (2/9/2024).

Endra menjelaskan, pembangunan infrastruktur yang masif itu membawa peringkat daya saing dan kualitas infrastruktur Indonesia meningkat. Dalam riset World Competitiveness Ranking (WCR) 2024 yang dirilis International Institute for Management Development (IMD), daya saing Indonesia di posisi ke-27 dari 67 negara yang dinilai. Indonesia naik tujuh peringkat dari posisi 2023. Adapun pada 2015 Indonesia berada di peringkat ke-42.

Adapun aspek ketersediaan infrastruktur Indonesia pada 2024 berada di posisi ke-52, turun 1 peringkat dibandingkan saat 2023. Namun, peringkat ini meningkat dari posisi ke-77 pada 2015 lalu.

Kendati sudah membangun banyak sekali infrastruktur, menurut Endra, Indonesia masih memerlukan pembangunan infrastruktur lebih banyak lagi. Ia menjelaskan, yang dilakukan selama 10 tahun terakhir ini adalah mengatasi ketertinggalan infrastruktur, tetapi masih jauh untuk menjadi negara maju.

Endra mencontohkan, total 300 bendungan yang sudah dimiliki Indonesia masih kalah jauh dibandingkan dengan China yang memiliki 90.000 bendungan. Saat ini baru 19 persen persawahan yang teraliri irigasi salah satunya dari bendungan, selebihnya 81 sawah lainnya teraliri irigasi.

Jembatan Sei Wampu pada jalan tol Binjai-Langsa di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (18/9/2024).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Jembatan Sei Wampu pada jalan tol Binjai-Langsa di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (18/9/2024).

Chief Executive Officer Supply Chain Indonesia Setijadi mengapresiasi berbagai pembangunan infrastruktur pemerintahan Presiden Jokowi. Capaian ini membantu meningkatkan efisiensi waktu tempuh logistik.

Dia mencontohkan, dengan adanya Tol Trans-Jawa, perjalanan distribusi logistik barang Jakarta-Surabaya yang biasanya memakan waktu hingga 36 jam kini hanya 12 jam. Dengan durasi perjalanan menyusut, jumlah perjalanan bisa bertambah.

Dengan waktu tempuh yang makin singkat dan jumlah perjalanan logistik yang meningkat, ada peningkatan produktivitas yang tercipta.

Iklan

Begitu pula distribusi logistik dengan kapal yang meningkat. Saat ini, ada 39 trayek perjalanan kapal tol yang meningkat berlipat dibandingkan dengan tahun 2014 yang hanya enam trayek. Tol laut memberikan konektivitas distribusi logistik yang lebih terjamin karena punya rute dan jadwal yang rutin.

”Dengan waktu tempuh yang makin singkat dan jumlah perjalanan logistik yang meningkat, ada peningkatan produktivitas yang tercipta,” ujar Setijadi, Kamis (26/9/2024).

Kendaraan memasuki ruas tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) memalui Gerbang Tol Ciledug di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, 17 Januari 2021.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Kendaraan memasuki ruas tol Jakarta Outer Ring Road (JORR) memalui Gerbang Tol Ciledug di kawasan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, 17 Januari 2021.

Konektivitas

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menilai, pembangunan infrastruktur selama 10 tahun terakhir telah memperlancar konektivitas, layanan dasar, serta distribusi pangan di Indonesia.

Pembangunan infrastruktur, khususnya jaringan transportasi udara, selama 10 tahun terakhir, menurut Telisa, telah memberikan efek berganda bagi perekonomian masyarakat di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar.

”Membangun daerah terluar dengan dukungan konektivitas udara secara sosial memberi dampak untuk terus mengurangi ketimpangan bagi masyarakat. Ada nilai-nilai sosial yang kemudian bisa mendukung nilai ekonominya,” ujarnya.

Baca juga: Dari Kebangkitan Nasional ke Pembangunan Nasional

Upaya perluasan jaringan bandara baru serta rehabilitasi dan pengembangan bandara yang sudah ada, termasuk pengembangan angkutan udara perintis, ia perkirakan dapat menopang pertumbuhan ekonomi di daerah. Angkanya berkisar 5-10 persen per tahun.

Terbukanya konektivitas udara juga dinilai dapat meningkatkan penerimaan pemerintah daerah dan pusat. Hal ini, lanjut Telisa, sejalan dengan semakin luasnya peluang-peluang ekonomi baru yang menggerakkan nadi perekonomian lokal. ”Konektivitas udara yang menjangkau wilayah terluar ini menciptakan sumber pendapatan baru bagi masyarakat lokal,” ujarnya.

Kendaraan melintasi pembangunan proyek Jalan Tol Layang Harbour Road (HBR) II Ancol Timur-Pluit di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (2/9/2024). Tol layang yang akan menghubungkan Tol Akses Tanjung Priok dengan Tol Ir Sedyatmo yang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN) ini ditargetkan selesai pada 2025.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kendaraan melintasi pembangunan proyek Jalan Tol Layang Harbour Road (HBR) II Ancol Timur-Pluit di Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (2/9/2024). Tol layang yang akan menghubungkan Tol Akses Tanjung Priok dengan Tol Ir Sedyatmo yang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional (PSN) ini ditargetkan selesai pada 2025.

Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Ina Primiana, berpendapat, pembangunan infrastruktur yang masif belum optimal fungsinya sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi. Tol belum sepenuhnya memberi dampak kesejahteraan kepada masyarakat sekitar.

Contohnya, masih banyak ditemukan kantong-kantong kemiskinan di sekitar pusat pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol. Jalan tol hanya terbatas dinikmati masyarakat kelas menengah ke atas yang punya kendaraan dan mampu membayar uang tol.

Pada ujungnya, pembangunan infrastruktur selama ini belum bisa membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia lepas dari 5 persen.

Pembangunan infrastruktur juga belum menciptakan efisiensi distribusi. Ia mencontohkan, pengiriman barang menggunakan kapal dari kawasan Indonesia barat menuju Indonesia timur biasanya terisi 90 persen, tetapi saat kembali kapal cenderung kosong. Hal ini membuat biaya logistik masih mahal lantaran angkutannya tidak optimal.

”Konsep pembangunan tol laut itu untuk menghidupkan sumber ekonomi baru di kawasan Indonesia timur. Namun, rupanya hal ini belum berjalan sepenuhnya. Pada ujungnya, pembangunan infrastruktur selama ini belum bisa membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia lepas dari 5 persen,” ujar Ina.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (duduk) meninajau trem otonom (<i>autonomous rail transit</i>/ART) di Pelabuhan Peti Kemas Kaltim Kariangau Terminal, Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (30/7/2024).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (duduk) meninajau trem otonom (autonomous rail transit/ART) di Pelabuhan Peti Kemas Kaltim Kariangau Terminal, Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (30/7/2024).

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia Mahendra Rianto mengatakan, pembangunan infrastruktur selama pemerintahan Presiden Jokowi kurang sejalan dengan pembangunan Indonesia menjadi negara industri sebagai cara untuk menjadi negara maju.

Alasannya, alih-alih banyak membangun media transportasi yang murah dan masif, seperti kapal laut dan kereta api, pemerintahan Jokowi justru fokus membangun jalan tol sebagai solusi logistik.

Tarif jalan tol untuk truk, yakni golongan 3, 4, 5, terlalu mahal. Jauh lebih mahal ketimbang kendaraan pribadi roda empat. ”Harusnya kalau memang mau barang murah, biaya logistiknya harus bisa lebih murah,” ujar Mahendra.

Baca juga: Presiden dalam Pidato Kenegaraan Klaim Biaya Logistik Kian Murah

Sementara kapal laut dan kereta api jauh lebih efisien dalam hal logistik. Kapal laut bisa memuat barang jauh lebih banyak dan lintas pulau. Kereta api juga tidak terhambat kemacetan dan mengangkut barang lebih banyak.

Sayangnya, pengembangan infrastruktur yang diharapkan dapat memacu aktivitas ekonomi terkendala masalah fundamental terkait dengan biaya investasi yang kurang efisien di Indonesia. Kondisi ini tecermin dari tingginya indikator Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia.

Presiden Joko Widodo saat peresmian Pelabuhan Pantoloan dan Pelabuhan Wani di kawasan Teluk Palu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (27/3/2024).
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN/RUSMAN

Presiden Joko Widodo saat peresmian Pelabuhan Pantoloan dan Pelabuhan Wani di kawasan Teluk Palu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Rabu (27/3/2024).

ICOR mencerminkan besaran tambahan kapital yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Jika semakin kecil angka ICOR, semakin efisien biaya investasinya. Sebaliknya, semakin besar angka ICOR, maka semakin besar biaya investasi yang dikeluarkan untuk menghasilkan output tertentu.

Pada 2021, ICOR Indonesia berada di level 8,16 persen dan turun menjadi 6,25 persen pada 2022, kemudian naik kembali pada 2023 ke angka 6,33 persen. Artinya, setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi 1 persen membutuhkan peningkatan investasi infrastruktur sebesar 6,33 persen pada 2023.

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Timur Melejit, Infrastruktur Perlu Digenjot

Saat dihubungi pada Sabtu (28/9/2024), ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia masih tinggi, yakni mulai dari faktor sarana infrastruktur yang kurang memadai, ruwetnya birokrasi, ongkos produksi, daya saing pasar tenaga kerja, hingga tingginya biaya logistik.

”Mahalnya biaya investasi di Indonesia turut menggambarkan adanya masalah institusional dan struktural, seperti penegakan hukum, penerapan atau pembuatan kebijakan, sampai masalah kualitas sumber daya manusia,” kata Yusuf.

Kondisi saat ini masih ada ketidaksesuaian antara produk olahan komoditas primer dengan industri perakitan di dalam negeri. Masih ada rantai pasok yang terputus.

Menurut Yusuf, nilai ICOR yang menunjukkan produktivitas investasi yang baik ada di antara 3 persen-4 persen. Untuk meningkatkan efisiensi investasi, Yusuf menyarankan adanya reformasi secara struktural melalui penguatan industri manufaktur, atau hilirisasi, yang lebih menyeluruh serta jaminan kepastian hukum untuk pelaku usaha.

”Kondisi saat ini masih ada ketidaksesuaian antara produk olahan komoditas primer dan industri perakitan di dalam negeri. Masih ada ada rantai pasok yang terputus,” ujarnya.

Editor:
FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA
Bagikan