Ikhtiar Menjaga Keanekaragaman Hayati di Lereng Jayawijaya
Papua adalah rumah megabiodiversitas bagi setengah dari total jumlah keanekaragaman hayati Indonesia.
Suara kicau burung ditemani semilir angin lembut mengisar mengelilingi sebuah aviari seluas lebih kurang 100 meter persegi dengan tinggi lebih dari 3 meter. Di dalamnya, Natalia Kutakapae (49) dan Adriana Mote (57) tengah memberikan biji-bijian kepada sekelompok kakatua tanimbar (Cacatua goffiniana) yang secara bergantian hinggap di pundak mereka.
Selain kakatua tanimbar, di kandang ini terdapat pula berbagi jenis burung lain, seperti nuri kepala hitam (Lorius lory), nuri bayan (Eclectus rotarus), mambruk selatan (Goura scheepmakeri), dan perkici pelangi (Trichoglossus haematodus), yang tengah menjalani habituasi.
Burung-burung endemik Papua tersebut merupakan hasil sitaan negara ataupun penyerahan sukarela oleh masyarakat, yang dititipkan sementara di Pusat Penelitian Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati milik PT Freeport Indonesia (PTFI) di titik mil (mile point/MP) 21, Mapurujaya, Mimika, Papua.
”Burung ini baru datang kemarin, masih anggap manusia (sebagai) teman. Di sini kami harus kasih paham mereka bahwa manusia itu ancaman, bukan teman. Supaya mereka bisa bertahan hidup setelah dilepasliarkan nanti,” ujar Adriana, Selasa (3/9/2024).
Ancaman terbesar terhadap fauna yang mendiami ekosistem di lereng Jayawijaya adalah perburuan liar yang dilakukan manusia.
Adriana yang berasal dari suku Mee dan Natalia dari suku Kamoro merupakan kontraktor lokal yang bermitra dengan Freeport untuk memasok bahan pangan, sekaligus memantau aktivitas beragam fauna yang menjalani proses habituasi, sebelum akhirnya nanti dikembalikan ke habitat asalnya.
Habitat fauna yang mayoritas singgah di fasilitas konservasi milik Freeport ini memang berasal ekosistem alami yang beririsan dengan area kerja perusahaan. Adapun area operasi Freeport membentang dari lokasi tambang bawah tanah di dataran tinggi Pegunungan Jayawijaya, hingga pabrik pengeringan konsentrat di Pelabuhan Amamapare.
Jika dibuat garis menelusur dari pelabuhan di muara sungai, hingga area tambang bawah tanah di ketinggian sekitar 3.500 meter di atas permukaan laut (mdpl), garis tersebut akan melintasi berbagai macam ekosistem alami, mulai dari hutan mangrove, hutan rawa sagu, hutan hujan, hutan kerangas, hutan pegunungan, hingga zona subalpin dan alpin.
Ekosistem tersebut menjadi rumah bagi ribuan spesies flora dan fauna yang sebagian besar tidak dapat ditemukan di tempat lain. Keanekaragaman hayati di zona kerja Freeport tergolong unik karena termasuk kelompok subdivisi timur dari pembagian flora fauna Indo-Malesia dan flora fauna Australis. Gangguan terhadap keanekaragaman hayati dapat berdampak fatal terhadap keseimbangan alam dan keberlanjutan lingkungan di masa mendatang.
Terancam punah
Kepala Seksi Konservasi Wilayah II Mimika Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua Bambang Lakuy kepada Kompas menceritakan bahwa ancaman terbesar terhadap fauna yang mendiami ekosistem di area kerja Freeport adalah perburuan liar yang dilakukan manusia.
Banyak binatang endemik yang diburu untuk kemudian diperdagangkan ke luar wilayah Papua, baik untuk menjadi binatang peliharaan maupun untuk dikonsumsi.
Menurut Bambang, masih tingginya volume perburuan satwa di ekosistem yang masuk dalam area operasi Freeport membuat aksi ini sulit dibendung. Bermacam fauna, seperti aneka burung, kura-kura, penyu, walabi, dan berbagai reptil diburu untuk kemudian diperdagangkan secara liar ke luar Papua melalui jalur ”tikus”.
Baca juga: 19 Kawasan Konservasi di Papua Dilindungi
”Kegiatan perdagangan seperti ini sudah terorganisir. Perdagangan liar banyak hewan, khususnya labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta), setiap tahun hampir selalu ada,” ujarnya.
Padahal, berdasarkan daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN), labi-labi moncong babi berstatus endangered atau terancam punah. Di luar labi-labi moncong babi, terdapat fauna endemik Papua Selatan dengan status hampir terancam atau rentan yang kerap diburu, seperti mambruk selatan dan kasuari gelambir ganda (Casuarius casuarius).
”Menekan perdagangan liar memiliki tantangan tersendiri. Makanya, kami juga berusaha memperkuat kerja sama dengan aparat penegak hukum, termasuk bekerja sama dengan PTFI untuk proses pengembalian ke habitat asli,” ucap Bambang.
Berdasarkan catatan Departemen Enviromental PTFI, sejak 2006 hingga Juli 2024, Freeport telah memfasilitasi pelepasliaran 61.983 satwa endemik Papua yang diinisiasi BBKSDA Papua. Dari jumlah tersebut, sebagian besar fauna yang dikembalikan ke habitat asalnya adalah labi-labi moncong babi.
Vice President Environmental PTFI Gesang Setyadi mengatakan, keragaman hayati yang begitu tinggi di area operasi PTFI merangsang perusahaan mulai melakukan kegiatan pemantauan lingkungan di tahun 1994. Seiring berjalannya waktu, banyak program dilakukan mulai dari penelitian, pelepasliaran hewan ke habitat aslinya, pembangunan beragam fasilitas konservasi, sampai dengan program edukasi untuk warga.
”Kalau bicara konservasi, menjaga dan mendukung keanekaragaman hayati Papua telah menjadi salah satu policy perusahaan,” ujarnya.
Sebagai wujud komitmen tersebut, di kompleks Pusat Penelitian Reklamasi dan Keanekaragaman Hayati MP 21 dengan luas area kelolaan mencapai 129 hektar, terdapat sejumlah fasilitas pendukung konservasi dan edukasi terkait dengan keanekaragaman hayati.
Selain fasilitas pemeliharaan sementara hewan-hewan sitaan BBKSDA, terdapat juga fasilitas penangkaran kupu-kupu, kebun anggrek, laboratorium herbarium dari ribuan spesimen yang pernah ditemukan di daerah kerja PTFI, serta museum diorama yang menggambarkan lanskap ekosistem dan keanekaragaman satwa di area operasional PTFI.
Di luar kegiatan perawatan dan pelepasliaran hewan endemik ke habitat aslinya, upaya konservasi juga dilakukan lewat penelitian intensif mengenai vegetasi, mamalia, burung, amfibi, perikanan air tawar, insekta air, dan insekta terestrial.
Penelitian tersebut juga membuahkan penemuan sejumlah spesies baru flora dan fauna, di antaranya spesies baru kepiting, insekta akuatik, insekta darat, beberapa spesies mamalia yang belum dipastikan identifikasinya, dan puluhan jenis baru tanaman.
”Kami beroperasi di wilayah Papua, yang secara ekologi cukup unik, karena itulah kami merasa penting untuk melakukan program konservasi,” tutur Gesang.
Anjing bernyanyi
Wilayah kerja Freeport juga terbuka bagi lembaga yang ingin melakukan penelitian terkait dengan keanekaragaman hayati. Pada 2016, sebuah ekspedisi yang dilakukan New Guinea Highland Wild Dog Foundation (NGHWDF) bersama Universitas Papua melaporkan adanya temuan 15 individu anjing liar dataran tinggi Papua atau populer disebut anjing bernyanyi Papua di area dekat tambang terbuka Grasberg.
Jenis anjing liar ini sebelumnya sempat tidak terdokumentasi lama sehingga diyakini sebagian orang telah punah. Kemudian, sejak 2018, Freeport bekerja sama dengan NGHWDF dan Universitas Cendrawasih melakukan pengamatan intensif kepada anjing bernyanyi Papua sehingga di tahun 2022 lebih kurang terdapat 40 individu yang telah teramati.
Menurut Gesang, penelitian terhadap anjing bernyanyi Papua penting untuk memastikan apakah anjing liar dataran tinggi Papua masuk sebagai spesies sendiri yang berbeda dengan Canis hallstromi yang berada di dataran tinggi Niugini, atau masuk dalam subspesies.
Baca juga: Penelitian Anjing Liar Dataran Tinggi Papua Perlu Dilanjutkan:
General Foreman Biodiversity Departemen Environmental PTFI Kukuh Indra Kusuma mengatakan, keberadaan anjing bernyanyi Papua dapat ditemui di setiap sudut area Grasberg. Kendati hidup secara liar dan memiliki tingkat kewaspadaan tinggi, anjing tersebut tidak menyerang manusia.
Dari pengamatan yang dilakukannya terhadap anjing ini, mereka kerap menjelajah dengan jangkauan yang cukup luas dan secara berkelompok. ”Setiap anjing sudah mengetahui teritorialnya masing-masing dan jarang sekali dijumpai anjing yang saling bertikai,” ujarnya.
Status konservasi anjing liar dataran tinggi Papua sampai saat ini masih belum masuk dalam daftar merah Badan Konservasi Dunia (IUCN) sehingga masih perlu identifikasi dan penelitian lebih lanjut guna mendorong ditetapkannya anjing liar dataran tinggi Papua sebagai satwa yang dilindungi.
Secara keseluruhan, Papua adalah rumah megabiodiversitas bagi setengah dari total jumlah keanekaragaman hayati Indonesia, secara khusus flora dan fauna endemik, yang hanya dijumpai di tanah Papua. Apa pun upaya untuk menjaga ujung tombak terakhir keanekaragaman hayati di Tanah Air perlu berlanjut.