PLTA, dari Pemikul Beban hingga ”Baterai Raksasa”
Di satu sisi, peran PLTA bisa diandalkan, tetapi pengembangannya amat menantang. Ini menyangkut investasi-konservasi.
Sekitar seabad lamanya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) melistriki Indonesia. Memanfaatkan sumber energi terbarukan, PLTA semakin relevan di tengah upaya dekarbonisasi dalam transisi energi. Di satu sisi, peran PLTA dapat diandalkan, mulai dari pemikul beban dasar dan beban puncak kelistrikan hingga ”baterai raksasa”. Namun, di sisi lain, pengembangannya cukup menantang sehingga dibutuhkan kolaborasi.
Mulai dioperasikan sejak awal abad ke-20, PLTA serta pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM) dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) hingga kini menjadi salah satu jenis energi terbarukan yang diandalkan untuk kelistrikan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi energi terbarukan hingga Juni 2024 sebesar 13.781 megawatt (MW). Air menjadi kontributor terbesar dengan 6.697 MW.
Kendati pembangunannya membutuhkan investasi besar serta memakan waktu relatif lama, sejumlah proyek PLTA di Indonesia masih berjalan. Sebut saja PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara; PLTA Peusangan di Aceh Tengah, Aceh; dan PLTA Upper Cisokan di Jawa Barat. Ke depan, dengan potensi sebesar 95.000 MW, pembangkit listrik tenaga hidro potensial untuk dikembangkan.
Yayan Satyakti, pengamat ekonomi energi sekaligus dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran, Bandung, yang dihubungi pada Selasa (20/8/2024), mengatakan, saat operasionalisasi, PLTA relatif kompetitif. Lantaran memanfaatkan sumber daya dari air, tidak perlu ada pengadaan bahan bakar. Begitu juga dengan perawatan (maintenance) yang relatif kompetitif untuk jangka panjang.
Namun, perencanaan hingga kajian kelayakan di awal pengembangan haruslah matang. ”Kenapa pembangunan PLTA cenderung lebih lama dari pembangkit lain? Sebab, harus membangun bendungan, yang berkait dengan pembebasan lahan, yang selama ini kerap menjadi masalah di mana-mana. Jadi, cukup menantang karena kebutuhan investasi di awal relatif besar,” kata Yayan.
Baca juga: Energi Terbarukan Belum Terakselerasi
Selain itu, imbuh Yayan, keberlanjutan pasokan air juga perlu diperhatikan. Perlu kajian matang, termasuk bagaimana menjaga pasokan air berkelanjutan serta konservasi hutan di hulu. Upaya memastikan keberlanjutan pasokan air itu semakin menantang di tengah perubahan iklim. Potensi mengeringnya sungai-sungai menjadi lebih besar. Saat neraca air defisit, keandalan pembangkit bisa terdampak.
Dengan demikian, selain perihal permintaan (demand) dan investasi, perlu ada dukungan kebijakan tata ruang yang menunjang keberadaan PLTA. ”Konservasi hutan dan air harus benar-benar diperhatikan. Pembangunan PLTA tidak bisa berdiri sendiri, tetapi melihat juga dukungan sumber daya yang ada,” kata Yayan, melanjutkan.
Kolaborasi
Dengan sederet tantangan itu, pembangunan PLTA memerlukan kolaborasi. PLTA Batang Toru, misalnya, sempat terkendala pendanaan. Proyek itu kini berjalan lagi setelah masuknya State Development and Investment Corporation (SDIC) Power (BUMN China) yang memegang 70 persen saham. Pemegang lainnya ialah PT PLN Nusantara Renewables (anak usaha PT PLN Nusantara Power) 25 persen, dan ASIA Hydria 5 persen.
Baca juga: Longgarkan Syarat Komponen Domestik, Pemerintah Kebut Lagi Proyek Energi Terbarukan
PLTA bertipe run-of-river tersebut memanfaatkan aliran Sungai Batang Toru serta memiliki kapasitas total 510 megawatt (MW). Berfungsi sebagai pembangkit peaker atau pemikul beban puncak, PLTA itu ditargetkan beroperasi komersial (COD) pada 31 Desember 2026. Adapun nilai investasi proyek sebesar 1,67 miliar dollar AS dengan financial close atau penyelesaian pendanaan pada Maret 2023.
Anggota tim ahli PLTA Batang Toru, Hadi Susilo, Rabu (24/7/2024), menuturkan, PLTA itu dirancang berdasarkan kondisi debit Sungai Batang Toru. Aliran sungai ditampung di bendungan untuk kemudian dilepas lewat terowongan pipa beton bawah tanah sepajang 12 kilometer (km) ke hilir, hingga masuk ke pipa pesat (penstock), untuk dialirkan ke bangunan pembangkit (powerhouse) guna menggerakkan turbin.
”Listrik yang dihasilkan langsung masuk ke jaringan PLN, yakni transmisi 275 kV (kilovolt) antara Gardu Induk Padang Sidempuan dan Gardu Induk Sarulla. Operasionalisasi pembangkitan selama 6 jam, dari pukul 18.00 hingga 00.00. Namun, dengan debit yang ada, bisa juga dioperasikan off-peak atau di luar jam enam, jam tersebut. Tergantung permintaan dari PLN,” ujar Hadi.
Baca juga: Pemerintah Baru, Pilih Energi Terbarukan atau Solusi Palsu?
Hadi menambahkan, PLTA Batang Toru bergantung pada kondisi ketersediaan air di sungai. Koordinasi pun dilakukan dengan berbagai pihak dengan harapan terjaganya daya dukung lingkungan di hulu. ”Itu penting agar pola aliran debit sungai tidak mengalami perubahan mencolok antara musim hujan dan kemarau. Untuk mitigasi, perlu penghijauan. Paling minimal ialah mempertahankan kondisi yang ada,” tuturnya.
Selain Batang Toru, PLTA lain yang juga bakal mendukung ketenagalistrikan di Sumatera ialah PLTA Peusangan dengan kapasitas 88 MW, yang merupakan PLTA pertama di Aceh. Mengutip data Kementerian ESDM, hingga April 2024 lalu telah mencapai 94,71 persen. Operasi komersial untuk unit 1 (45 MW) ditargetkan pada akhir 2024, sedangkan unit 2 (43 MW) pada Mei 2025.
PLTA Peusangan nantinya akan berperan sebagai pembangkit pemikul beban dasar (baseload). Peran penting lainnya yakni untuk menurunkan biaya pokok penyediaan (BPP), meningkatkan keandalan sistem, serta mendukung capaian target bauran energi terbarukan. Adapun pendanaan proyek pertama yang dikembangkan pada 1994 yang lama tertunda itu sebagian besar berasal dari Japan International Cooperation Agency (JICA).
Proyek berjalan lainnya yakni PLTA Upper Cisokan di Jawa Barat, dengan kapasitas sekitar 1.000 MW. PLTA tersebut berfungsi sebagai pumped storage atau memindahkan air dari dua bendungan dengan ketinggian berbeda. Artinya, selain dialirkan ke bendungan yang lebih rendah, air dapat juga dipompa ke bendungan yang lebih tinggi. PLTA itu dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan energi atau sebagai ”baterai” raksasa.
Telah lama dikembangkan, proyek tersebut bergantung pada dukungan pendanaan internasional. Sempat terhambat karena terkendala aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), pendanaan kini diharapkan segera cair setelah terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2024 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.
Aturan baru itu merelaksasi aturan sebelumnya, yakni Peraturan Menteri Perindustrian No 54/2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan yang telah dicabut. ”PLTA Upper Cisokan diiharapkan bisa COD sebelum 2030,” kata Executive Vice President Aneka Energi Terbarukan PT PLN (Persero) Zainal Arifin.
Baca juga: Indonesia Belajar pada Pemain Energi Terbarukan Global
Identifikasi hambatan
Tantangan pengembangan pembangkit tenaga air tampak dari realisasi jenis pembangkit itu pada 2023. Berdasarkan Laporan Kinerja Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM 2023, tambahan kapasitas terpasang PLTA/PLTM/PLTMH hanya 94,96 MW atau 23,2 persen dari target. Sebagai perbandingan, pada 2021, penambahan kapasitas terpasang mencapai 451,2 MW.
Dalam dokumen itu disebutkan, penambahan kapasitas terpasang PLTA belum sesuai harapan karena adanya keterlambatan operasi komersial pada sejumlah proyek. Itu disebabkan, antara lain, permintaan yang tak sesuai lagi dengan saat penyusunan RUPTL PLN 2021-2030, keterlambatan penyusunan kajian kelayakan proyek, gagal lelang akibat persyaratan TKDN, belum dapatnya pembiayaan, serta kendala perizinan akses lokasi, kondisi teknis, dan sosial masyarakat.
Upaya yang dilakukan Direktorat Aneka Energi Baru Terbarukan Ditjen EBTKE dalam mengatasi kendala itu salah satunya ialah pembahasan monitoring progres pembangungan proyek-proyek yang terdapat dalam RUPTL PLN 2021-2030. Selain itu, fasilitasi dalam upayamempertemukan para pemangku kepentingan dan lintas kementerian guna membahas kendala-kendala dalam proyek.
Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi mengatakan, pembangkit listrik tenaga air terus didorong pemerintah dalam rangka peningkatan penyediaan energi bersih. ”PLTA kami dorong karena baseload (pemikul beban dasar kelistrikan),” katanya, Selasa (20/8/2024).
Sebagai salah satu jenis energi terbarukan, air memiliki potensi besar untuk semakin banyak menghasilkan energi bersih dalam mendukung target nasional, yakni emisi nol bersih (NZE) 2060. Namun, sederet tantangan perlu dijawab dengan kajian matang hingga kolaborasi antarpihak.