Bebas Akses ENERGI HIJAU
Biomassa, PLTU, dan Tantangan Transisi Energi
Pengakhiran dini operasi batubara masuk dalam agenda transisi energi. Namun, target-target harus ambisius dan jelas.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F16%2F1cc54de3-d2da-4ad7-b28f-27d055c90fff_jpg.jpg)
Tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) RDF/SRF di Kawasan Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPAR) Kebon Kongok, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/6/2024). Di tempat ini sampah, seperti kayu, daun kering, plastik, dan lainnya disiapkan dan diolah sebagai bahan bakar alternatif.
Siang itu, di Gerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/6/2024), sinar matahari terpantul di atap bangunan yang menjulang setinggi sekitar 6 meter. Sisi bangunan yang terbuka membuat para pekerja di dalamnya tak begitu kegerahan. Sebagian dari mereka memilah sampah-sampah yang baru diturunkan dari truk. Sebagian lagi memasukkan ranting-ranting pohon ke dalam mesin pencacah.
Bentuk dan desain modern di bagian depan bangunan itu sama sekali tidak menunjukkan tempat penampungan sampah yang dekat dengan tempat pembuangan akhir. Pada fasad bangunan, terpampang tulisan ”TPST RDF & SRF” yang berarti tempat pengolahan sampah terpadu refuse derived fuel (RDF) dan solid recovered fuel (SRF). RDF dan SRF menjadi biomassa untuk campuran batubara pada co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
”Total sampah yang masuk ke TPA ini 324 ton per hari (dari Lombok Barat dan Mataram). Sekitar 30 ton masuk ke fasilitas TPST ini, sedangkan sisanya masuk landfill (hamparan terbuka TPA),” ujar Kepala Seksi Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Tempat Pembangunan Akhir Regional (TPAR) Kebon Kongok, NTB, Mulyadi Gunawan. Selain pengolahan sampah menjadi RDF dan RSF, juga ada kegiatan pembuatan produk daur ulang serta kompos di fasilitas yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) serta mulai beroperasi pada 2023 itu.
Lihat juga: Biomassa untuk Pembangkit Listrik
Biomassa dari TPAR tersebut dipasok ke PLTU Jeranjang, dengan kapasitas 3 x 25 megawatt (MW), di Lombok Barat. SRF itu rutin digunakan sebagai campuran batubara dalam implementasi co-firing. Namun, SRF hanya sebagian kecil biomassa yang digunakan untuk co-firing untuk PLTU Jeranjang, karena biomassa yang paling banyak dimanfaatkan ialah woodchip atau potongan-potongan kecil kayu.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F16%2Fc572d53d-f770-4da5-8562-c5c4d5972155_jpg.jpg)
Pekerja memilah sampah di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) RDF/SRF di Kawasan Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPAR) Kebon Kongok, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/6/2024).
Biomassa berbasis sampah, yang diolah menjadi bahan bakar jumputan padat seperti RDF dan SRF, sebenarnya diharapkan lebih banyak dalam proses co-firing. Selain memanfaatkan sampah rumah tangga sehari-hari, biomassa jenis itu juga relatif jauh dari isu deforestasi yang melekat pada biomassa berbasis kayu, terutama jika dikaitkan dengan peningkatan target pasokan biomassa dari tahun ke tahun.
Akan tetapi, boiler PLTU cenderung ”ramah” pada sampah berupa ranting-ranting yang dicacah. ”Komposisi SRF saat ini 95 persen organik dan anorganik 5 persen. Kami sebenarnya berharap 50-50 antara ranting-ranting dan sampah plastik. Tapi memang permintaannya seperti itu, mungkin terkait dengan kemampuan PLTU-nya,” ujar Mulyadi. Adapun jenis boiler pada PLTU Jeranjang ialah circulating fluidized bed (CBF).
Tekan emisi
Pemanfaatan biomassa dalam co-firing dilakukan di sejumlah PLTU batubara milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN di berbagai daerah di Indonesia. Hal itu menjadi upaya menekan emisi gas rumah kaca dari pembakaran batubara pada PLTU. Di sisi lain, PLTU tetap dapat beroperasi karena listrik yang dihasilkan dari pembangkit itu menjadi penopang pasokan listrik utama bagi daerah di sekitarnya.
Baca juga: Dua Sisi Pemanfaatan Biomassa untuk PLTU
Namun, campuran biomassa untuk PLTU tak bisa sembarangan karena bisa berpengaruh pada kinerja boiler pada PLTU. Artinya, jika volumenya terlalu banyak, mesin bisa rusak. Di PLTU Jeranjang, misalnya, sejauh ini penggunaan maksimal biomassa baru pada angka 7 persen.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F16%2F40a33d80-06a5-451a-8228-be75f57e80d3_jpg.jpg)
Pekerja mencacah daun kering menggunakan alat pencacah di tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) RDF/SRF di Kawasan Tempat Pembuangan Akhir Regional (TPAR) Kebon Kongok, Kecamatan Gerung, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/6/2024).
Direktur Biomassa PT PLN Energi Primer Indonesia Antonius Aris menuturkan, penerapan biomassa pada PLTU milik PLN menjadi upaya penurunan emisi dengan tetap membuat PLTU beroperasi untuk menopang kebutuhan tenaga listrik. Diakuinya, target pemanfaatan biomassa akan meningkat dari tahun ke tahun sehingga menghadirkan sejumlah tantangan.
”(Strategi PLN EPI), yang kita cari adalah limbah siap pakai seperti saw dust (serbuk kayu). Lalu, limbah yang produksinya berkelanjutan seperti sekam padi, limbah pertanian, bonggol jagung, limbah aren, sagu, dan seterusnya. Itu dilakukan terus-menerus meskipun dibutuhkan pengolahan yang minim untuk bisa mengejar harga (masuk). Tapi, peningkatan harga (biomassa domestik) tetap dibutuhkan,” katanya.
Strategi lainnya, imbuh Aris, ialah dengan mengembangkan ekosistem biomassa, salah satunya socio tropical agricultural waste biomass atau biomassa yang berbasis limbah pertanian. ”Jadi, kami upscale (menaikkan skala) di situ. Kami ambil limbah dari bonggol jagung, batang singkong, batas tebu, yang berproduksi terus-menerus, lalu kami proses bersama masyarakat,” lanjut Aris. Ia memastikan saat berkontrak dengan pemasok, biomassa dipastikan bukan hasil deforestasi.
Upaya pemanfaatan biomassa tersebut dilakukan di tengah target nasional mencapai emisi nol bersih (NZE) pada 2060. Hal itu penting mengingat kebutuhan listrik nasional bakal terus meningkat. Sementara energi terbarukan yang tersedia belum bisa dijadikan pemikul beban dasar (baseload) sebagaimana halnya PLTU.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F16%2Fc14cdaf3-4070-44aa-944d-0fc0d2a2107a_jpg.jpg)
Alat berat digunakan untuk mencampur serbuk kayu atau woodchip dengan batubara di area coal yard Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang di Desa Taman Ayu, Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/6/2024). Serbuk kayu menjadi salah satu biomassa penganti batubara atau co-firing yang digunakan di PLTU Jeranjang.
NZE 2060
Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto, akhir Mei 2024, mengatakan, pemerintah akan terus meningkatkan realisasi energi terbarukan, utamanya demi mencapai target NZE 2060. Co-firing atau pencampuran biomassa dengan batubara pada PLTU menjadi salah satu cara di samping berbagai energi lain, seperti surya, hidro, bahan bakar nabati, hingga panas bumi.
Namun, diakuinya, co-firing belum berjalan secara optimal, salah satunya karena keberlanjutan pasokan serta konsistensi kandungan kalorinya. ”Saat disimpan di tempat terbuka, kayu akan basah dan membuat kalorinya menurun yang membuat boiler-nya bermasalah. Sementara investasi membuat gudang akan memerlukan biaya tambahan. Jadi, bagaimana agar biomassa ini konstan. Masalah ini perlu diselesaikan,” ujarnya.
Mengenai isu deforestasi dalam implementasi co-iring, Djoko menekankan bahwa pemanfaatan biomassa bukan dengan menebang hutan yang sudah ada. Namun, memanfaatkan jenis biomassa yang tidak terpakai atau dengan konsep penanaman kembali, seperti pada hutan tanaman industri ataupun hutan tanaman energi. Selain itu, pemanfaatan sampah sebagai biomassa juga perlu terus digencarkan.
Jadi, bagaimana agar biomassa ini konstan. Masalah ini perlu diselesaikan.
Sementara mengenai pengakhiran dini operasi PLTU, pemerintah mengidentifikasi PLTU yang usianya sudah tua, tinggi emisi, dan efisiensi rendah. ”Tapi sebelum dipastikan akan diakhiri lebih cepat operasinya, kita pun harus menyiapkan penggantinya, misalnya dengan gas atau energi terbarukan. Saat energi terbarukan sudah siap, kita akan bisa bertahap menyesuaikan hingga kontrak (PLTU)-nya habis,” kata Djoko.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F16%2F1dff674b-d431-4098-bd5e-230ee9cc5144_jpg.jpg)
Pekerja menyiapkan mesin pencacah kayu menjadi potongan kecil kayu atau woodchip di Beber, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/6/2024). Produksi biomassa serpihan kayu dari tempat ini nantinya dipasok ke PLTU Jeranjang di Desa Taman Ayu, Gerung, Lombok Barat.
Namun, Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan, di tingkat global, penggunaan biomassa secara umum masih disorot secara kritis. Salah satunya karena muncul kekhawatiran bakal memicu perusakan hutan. Selain itu, ada faktor teknis yang bisa memengaruhi keandalan pembangkit serta harganya yang relatif mahal.
Apabila untuk mengejar angka-angka (capaian), Putra menambahkan, terlalu dipaksakan. ”Saat ini, dengan memanfaatkan limbah-limbah (kayu) yang ada itu bagus. Tapi bagaimana ke depan, saat volume kebutuhannya terus meningkat? Saya pikir perlu ada proses procurement (pengadaan pasokan biomassa) yang transparan dan sustain. Standar-standarnya harus jelas dan disampaikan ke publik,” katanya.
Ia menambahkan, perlu juga dikaji lebih dalam mengenai kepastian pengurangan emisi dari pemanfaatan biomassa. Apakah penggunaan biomassa untuk co-firing pada PLTU lantas dapat disebut hijau? Sebab, penyebutan hijau seharusnya muncul jika praktiknya dilakukan dari ujung ke ujung. Dengan demikian, masih diperlukan asesmen akan hal itu.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Raynaldo G Sembiring berpendapat, perlu ada target yang jelas dan terpadu, termasuk terkait rencana pengakhiran dini operasi PLTU batubara. Adapun solusi co-firing, menurut dia, justru dapat memperpanjang usia PLTU dari seharusnya.
Menurut dia, target transisi Indonesia mesti ambisius, jelas, dan mengikat secara hukum. Beragam target telah disampaikan, seperti nationally determined contribution (NDC) serta target 23 persen energi terbarukan dalam bauran energi nasional pada pada 2025 seperti tertuang dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN.
Di sisi lain, Indonesia juga memiliki target Just Energy Transition Partnership (JETP) yang tak hanya menargetkan kapasitas lebih sedikit, tetapi juga menargetkan pengakhiran dini operasi PLTU dan NZE sektor ketenagalistrikan. ”Akan tetapi, komitmen JETP tak memiliki implikasi hukum jika tidak dituangkan dalam instrumen hukum tertentu. Ketiadaan target yang jelas ini mengakibatkan pelaksanaan yang berpotensi tumpang tindih,” ujarnya.
Baca juga: Jalan Berliku Realisasi JEPT di Indonesia
Raynaldo menambahkan, perlu ada level of playing field bagi energi terbarukan. Di samping itu, regulasi energi terbarukan perlu fokus pada upaya mengakselerasi energi terbarukan serta tidak mengakomodasi ruang untuk solusi palsu. Ia juga mendorong agar regulasi serta kebijakan memandatkan peta jalan transisi berkeadilan Indonesia ke depan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F07%2F16%2Fcbc53759-a336-4e46-985f-37e289daa977_jpg.jpg)
Serpihan kayu hasil cacahan dari kayu di Beber, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Senin (10/6/2024). Produksi biomassa serpihan kayu dari tempat ini nantinya dipasok ke PLTU Jeranjang di Desa Taman Ayu, Gerung, Lombok Barat. Sejak akhir 2020, PLTU mulai mendorong penggunaan biomassa, seperti serpihan kayu, sebagai substitusi batubara di PLTU Jeranjang.
Adapun realisasi atau capaian energi terbarukan Indonesia hingga kini masih jauh dari harapan. ”Apabila kita melihat komitmen transisi energi Indonesia di level gobal, diperlukan kondisi pemungkin yang baik serta komitmen politik yang kuat untuk mendorong transisi energi yang adil. Salah satunya mencakup kebijakan yang proenergi terbarukan dan pembiayaan untuk mengakselerasi energi terbarukan,” lanjutnya.
Keamanan energi
Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sarjiya, menuturkan, pada sektor ketenagalistrikan, yang utama ialah penyediaan energi harus aman. Artinya, baik secara kualitas, stabil, dan dapat diandalkan. Pembangkit listrik yang bisa diatur akan diperlukan.
”Saat kita mendorong energi terbarukan lebih besar lagi, apakah PLTU masih diperlukan? Tetap karena kalaupun solar PV (panel energi surya) didorong dengan pesat, tetap dibutuhkan backup. Sementara yang paling bisa diandalkan saat ini (sebagai pemikul beban dasar/baseload) masih PLTU ketika panas bumi belum bisa menggantikannya serta energi nuklir belum ada. Jadi, jangan sampai ada masalah keamanan energi,” ujarnya.
Baca juga: Sebanyak 15 PLTU Bisa Dipensiundinikan hingga 2030
Oleh karena itu, menurut dia, dalam transisi energi, aspek teknis menjadi hal mendasar yang paling pertama dilihat. Setelah itu, baru pada keterjangkauan(affordability)yang juga berkait dengan kemampuan masyarakat. ”Tentu kita semua ingin lebih green (hijau) dan berkelanjutan. Namun, green yang seperti apa? Transisinya harus betul-betul dipastikan,” lanjut Sarjiya.
Mengenai implementasi co-firing, Sarjiya mengemukakan, praktik itu dapat menjadi opsi untuk menekan emisi dari PLTU yang masih dibutuhkan. Misalnya, dengan memanfaatkan potensi biomassa yang berada di sekitar PLTU, yang diharapkan dapat turut menggerakkan perekonomian masyarakat di sekitar PLTU, dengan memasok biomassa secara berkelanjutan.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 13 dengan judul "Biomassa, PLTU, dan Tantangan Transisi Energi".
Baca Epaper Kompas