logo Kompas.id
EkonomiSalah Kaprah ”Cost Recovery”...
Iklan

Salah Kaprah ”Cost Recovery” dan Produksi Minyak Bumi

Pemerintah mengusulkan kenaikan ”cost recovery”, sedangkan target ”lifting” minyak bumi turun. Apakah linier?

Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
· 1 menit baca
Suasana di <i>rig</i> Pertamina di Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, yang merupakan bagian dari Wilayah Kerja Rokan (Blok Rokan), Senin (8/8/2022). Pengeboran itu menjadi salah satu <i>rig</i> Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang mengelola Blok Rokan sejak Agustus 2021 setelah dialih kelola dari Chevron.
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Suasana di rig Pertamina di Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau, yang merupakan bagian dari Wilayah Kerja Rokan (Blok Rokan), Senin (8/8/2022). Pengeboran itu menjadi salah satu rig Pertamina Hulu Rokan (PHR) yang mengelola Blok Rokan sejak Agustus 2021 setelah dialih kelola dari Chevron.

Rapat kerja pemerintah dan Komisi VII DPR terkait asumsi dasar sektor energi dan sumber daya mineral dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025, Rabu (5/6/2024), lebih banyak mengulas mengenai minyak bumi. Bukan hanya realisasi produksi minyak yang terus melorot, melainkan juga biaya operasi yang dipulihkan atau cost recovery yang justru meningkat. Terasa kontradiktif. Namun, benarkah ada kontradiksi?

Cost recovery adalah biaya operasional yang dikeluarkan lebih dulu oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, serta produksi minyak dan gas bumi (migas). Apabila berhasil, biaya itu bakal diganti pemerintah. Artinya, pendapatan dari produksi dikurangi cost recovery lebih dulu baru dilakukan split (pembagian) berdasarkan kontrak bagi hasil (PSC) antara pemerintah dan KKKS.

Editor:
AUFRIDA WISMI WARASTRI
Bagikan