ekonomi digital
Digitalisasi UMKM Indonesia Masih Semu
Dominasi produk impor yang mencapai 90 persen menjadi penghambat pertumbuhan jumlah UMKM sektor produktif di lokapasar.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F13%2F27e4bc19-9eea-47bc-aac2-f825b7af2c98_jpg.jpg)
Kerajinan dari limbah kayu ulin atau kayu besi (Eusideroxylon zwageri) di bengkel usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Osan Indonesia, di Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Sabtu (13/1/2024). Di tempat ini, limbah kayu ulin diolah menjadi talenan, spatula, sendok, sumpit, pisau kue, dan aneka produk lain. Produk kriya kayu ulin itu dipasarkan ke berbagai daerah di Indonesia, terutama Pulau Jawa, serta ke luar negeri (Jepang).
JAKARTA, KOMPAS — Digitalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM masih bersifat semu karena hampir seluruh UMKM di lokapasar hanya berstatus sebagai mitra penjual. Sementara sebanyak 90 persen barang yang dijual di lokapasar adalah produk impor. Padahal, lokapasar yang mayoritas diisi UMKM masih menjadi kontributor utama dalam menopang pertumbuhan nilai ekonomi digital nasional.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, nilai ekonomi digital di Indonesia yang diproyeksi mencapai 210 miliar dollar AS, kira-kira setara Rp 3.323 triliun, pada 2030 tidak akan berdampak apa-apa bagi ketahanan ekonomi nasional.