Jalan Berliku Kelapa Sawit dari Loyang Menjadi Emas
Jalan berliku yang dihadapi industri kelapa sawit Indonesia membutuhkan ikthiar dengan membentuk badan khusus.
Upaya untuk membawa era kejayaan kelapa sawit Indonesia di kancah internasional layaknya mengubah loyang menjadi emas. Pameo tersebut menggambarkan betapa rumitnya persoalan yang dihadapi oleh persawitan negeri ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) Indonesia ke lebih dari 160 negara pada 2022 mencapai nilai 39,07 miliar dollar AS atau setara Rp 600 triliun.
Setidaknya ada tiga persoalan mendasar yang dihadapi oleh industri kelapa sawit Indonesia, mulai dari sisi hulu hingga hilir, yakni kelembagaan, kepastian hukum, dan penelitian. Ketiga persoalan itu turut menjadi pembahasan utama dalam rangkaian forum diskusi harian Kompas bertajuk ”Urun Rembuk Bersama Stakeholder Sawit Nasional”, di Jakarta, Rabu (17/1/2024).
Terkait dengan kelembagaan, tata niaga komoditas kelapa sawit di dalam negeri terlampau sarat kepentingan dari berbagai pihak. Tercatat, lebih dari 30 Kementerian/lembaga yang ikut ambil bagian, antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasioal (ATR/BPN).
Bak sebuah kapal induk, pihak-pihak yang mengeluarkan regulasi tersebut masing-masing menurunkan jangkarnya sehingga kapal itu pun diam di tempat. Akibatnya, ruang gerak para petani, small holders, serta para pelaku usaha kelapa sawit menjadi terbatas lantaran terbentur oleh egosektoral para regulator.
Tumpang tindihnya regulasi tersebut tampak dalam kasus pengidentifikasian kawasan hutan. Baik perusahaan sawit yang semula diberikan hak guna usaha (HGU) maupun petani yang memiliki surat hak milik (SHM) nyatanya justru teridentifikasi masuk dalam kawasan hutan. Hal ini sekaligus menunjukkan tidak adanya kepastian hukum.
Istilah crude palm oil atau minyak mentah kelapa sawit sudah telanjur melekat di benak masyarakat. Dibandingkan dengan komoditas minyak nabati dunia lainnya, hanya kelapa sawit yang satu-satunya mendapatkan atribusi crude.
Oleh sebab itu, dibutuhkan sebuah lembaga atau badan dengan kewenangan khusus yang menaungi persawitan Indonesia sebagaimana telah dilakukan oleh Malaysia. Negara produsen sawit dengan pangsa pasar di bawah Indonesia itu telah membentuk Malaysian Palm Oil Board (MPOB), lembaga sekelas Direktorat Jenderal di sebuah Kementerian yang memfasilitasi seluruh kepentingan persawitan.
Lembaga khusus
Wacana pembentukan lembaga khusus itu disambut baik oleh para calon pemimpin Indonesia mendatang. Dalam forum diskusi, para perwakilan dari masing-masing tim sukses calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) pun sepakat untuk merealisasikan wacana tersebut jika nantinya terpilih.
Menurut Achmad Nur Hidayat selaku perwakilan Timses Pasangan Capres-Cawapres Anies-Muhaimin, pembentukan lembaga khusus tersebut justru dapat mensinkronkan berbagai macam kebijakan yang ada sekaligus mengatasi masalah tumpeng-tindih regulasi. “Kami di sini berkomitmen untuk memperbaiki proses pengambilan kebijakan agar tidak gonta-ganti, ada kejelasan aturan, ada kejelasan kerangka dan juga ada kepastian hukum," katanya.
Di sisi lain, Panji Irawan selaku Timses Pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Gibran mengatakan, pembentukan badan sawit dapat menjadi terobosan untuk menangani berbagai persoalan yang dihadapi industri kelapa sawit. “Kalau di Malaysia satu pintu saja bisa, masa kita tidak bisa? Jadi, kami mendukung pendirian Badan Sawit Indonesia,” ujarnya.
Sementara itu, Danang Girindrawardana selaku Timses Pasangan Capres-Cawapres Ganjar-Mahfud berpendapat, kelembagaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang mengatur persawitan perlu direformasi. “Kita perlu memperkuat BPDPKS atau menggantinya dengan lembaga setingkat Menteri,” tuturnya.
Baca juga: Sawit Diandalkan untuk Perekonomian
Diskriminasi
Selain menghadapi persoalan dari sisi internal, kelapa sawit juga menjumpai tantangan berupa hambatan nontarif dari sisi eksternal. Di kancah perdagangan global, komoditas minyak kelapa sawit mendapatkan diskriminasi terkait isu lingkungan seiring diterbitkannya Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang akan mulai diberlakukan per Januari 2025.
Bahkan, jauh sebelum regulasi itu dibuat, komoditas kelapa sawit sudah terlebih dahulu di pandang sebelah mata. Istilah crude palm oil atau minyak mentah kelapa sawit sudah telanjur melekat di benak masyarakat. Dibandingkan dengan komoditas minyak nabati dunia lainnya, hanya kelapa sawit yang satu-satunya mendapatkan atribusi crude.
Padahal, kelapa sawit memiliki kandungan mikronutrisi jauh lebih kaya ketimbang minyak nabati lainnya yang diproduksi oleh Barat. Kandungan tersebut, yakni karotenoid, tokoferol, fitosterol, squalena, fosfolipid, co enzim Q10 hingga polifenol.
Selain itu, kelapa sawit juga mampu menjawab tantangan transisi energi dengan menghasilkan energi terbarukan melalui produk turunannya, yakni biofuel. Bahkan, secara alamiah, tanaman kelapa sawit juga mampu menyerap karbondioksida hingga 64,5 ton per hektar per tahun sekaligus menghasilkan 18,7 ton oksigen per hektar per tahun.
Baca juga: Benah-benah Sawit Indonesia
Namun, berbagai keunggulan tersebut hanya akan dianggap sebagai isapan jempol belaka jika tidak dilakukan riset dan kajian secara mendalam. Agar penelitian mengenai sawit dapat berkembang pesat, peran sebuah lembaga atau badan sawit dibutuhkan.
Ibarat kata mengubah loyang menjadi emas, upaya membawa era kejayaan kelapa sawit Indonesia memang tidaklah mudah. Namun, kehadiran sebuah badan khusus yang menaungi sawit tersebut menunjukkan keseriusan sekaligus ikhtiar pemerintah untuk menunjukkan taji kelapa sawit Indonesia di kancah internasional.