Proses Transisi Energi Bersih Dihadang Beragam Persoalan
Transisi penggunaan batubara menuju ke energi baru dan terbarukan tidak mudah direalisasikan.
![https://cdn-assetd.kompas.id/zIg7VBESGsA3gmepZ8C6oQVbKBY=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F4d9b989e-65a4-4dd3-8cff-7e7f82c7d472_jpg.jpg](https://cdn-assetd.kompas.id/zIg7VBESGsA3gmepZ8C6oQVbKBY=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F4d9b989e-65a4-4dd3-8cff-7e7f82c7d472_jpg.jpg)
Petugas meninjau mesin pemindah batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sulut 2 atau yang lebih dikenal dengan PLTU Amurang di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, Rabu (27/10/2021).
JAKARTA, KOMPAS β Tekanan dekarbonisasi menuntut pengurangan pemakaian batubara. Namun, proses mengurangi sekaligus transisi menuju ke energi yang lebih ramah lingkungan justru menghadapi aneka persoalan.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan, berdasarkan proyeksi secara global, akan terjadi penurunan batubara mencapai 25 persen pada 2035 dan 40 persen pada 2050 akibat pengetatan peraturan emisi karbon.