logo Kompas.id
β€Ί
Ekonomiβ€ΊDari Glasgow ke Yapen
Iklan

Dari Glasgow ke Yapen

Transisi energi, meninggalkan energi fosil dan berpindah ke energi terbarukan, tidak terelakkan. Namun, peran teknologi dan dukungan pendanaan dari negara maju dibutuhkan.

Oleh
ARIS PRASETYO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/Gn7gadPxKX-xbBHxDlW4O_N4fh4=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F10%2F6ebc4dbf-3788-445a-addc-b034d2219b81_jpg.jpg
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Warga menikmati makan malam bersama dengan penerangan lampu yang menggunakan sumber listrik dari tabung listrik di Kampung Munggui, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, Rabu (29/9/2021). Sebelum menikmati listrik menggunakan alat penyimpanan daya listrik atau tabung listrik, warga menggunakan pelita sebagai sumber penerangan saat malam hari. Sebagian kecil warga ada yang memakai genset, tetapi penggunaan genset dirasakan warga tidak ekonomis karena harga bahan bakar yang mahal dan sulitnya mendapatkan bahan bakar.

Di Kampung Waisani, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, kegembiraan warga dipicu oleh kehadiran lampu-lampu bohlam di awal tahun ini. Sejak Indonesia merdeka, lampu bertenaga listrik adalah barang langka di Waisani. Selama ini warga hanya mengandalkan penerangan dari pelita berbahan bakar minyak.

Jangan dibayangkan bohlam itu bisa menyala 24 jam selama tujuh hari dalam sepekan. Bohlam itu hanya ”hidup” saat senja menjelang hingga tengah malam. Selain itu, setiap rumah rata-rata hanya memiliki 2-4 unit bohlam saja.

Editor:
Aris Prasetyo
Bagikan