logo Kompas.id
β€Ί
Ekonomiβ€ΊEkonomi Gorengan
Iklan

Ekonomi Gorengan

Mungkinkah lonjakan harga minyak goreng akan menuju titik keseimbangan baru harga keekonomiannya sehingga HET-nya perlu direvisi naik? Jika benar terjadi, gorengan, inflasi, dan pengeluaran penduduk akan beradaptasi.

Oleh
Hendriyo Widi
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/RSrwJQ3KMtQalEIo14ahNCZGez4=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2FDSC08203_1567945399.jpg
KOMPAS/YOLA SASTRA

Berbagai macam rakik dan sala lauak, makanan khas Ulakan, dijual di pinggir jalan sekitar Kompleks Makam Syeikh Burhanuddin, Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat, Minggu (8/9/2019). Penganan berbahan dasar tepung dan ikan/udang/kepiting itu dijual dengan harga Rp 500 (sala lauak) hingga Rp 15.000 (rakik ikan baledang).

Indonesia kaya dengan aneka ragam gorengan. Hampir setiap daerah di Nusantara memiliki gorengan khas. Bahkan, sebuah gorengan yang bahan dan olahannya sama memiliki nama yang berbeda di setiap daerah.

Gorengan yang paling terkenal di Banyumas, Jawa Tengah, adalah tempe mendoan dan ringket atau singkong goreng. Tegal dan Wonosobo, juga di Jawa Tengah, masing-masing punya tahu aci dan tempe kemul. Adapun Wonosobo dan Kulonprogo terkenal dengan geblek, camilan tradisional berbahan baku tepung singkong dan bawang.

Editor:
Aris Prasetyo
Bagikan