logo Kompas.id
EkonomiKontroversi ”Pajak Sembako”
Iklan

Kontroversi ”Pajak Sembako”

Reformasi perpajakan guna meningkatkan rasio pajak tetap harus dijalankan dalam jangka menengah. Sama dengan kematian, pajak adalah realitas tak menyenangkan yang tak bisa dihindari.

Oleh
A Prasetyantoko, Rektor Unika Atma Jaya
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/dVYtNklObWwhRJZ8wHogu6P2fpE=/1024x1487/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2F20210506-EKONOMI-BISNIS-H9-WARNA_1620315195.jpg
KOMPAS/SUPRIYANTO

Supriyanto

Hanya ada dua kepastian dalam hidup ini: kematian dan pajak. Membayar pajak adalah takdir. Karena itu pula, kebijakan perpajakan merupakan kebijakan ekonomi paling rumit, penuh dilema, dan terkadang kontroversial. Itulah yang terjadi dalam perdebatan seputar rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas barang kebutuhan pokok seperti beras dan gula—disebut ”Pajak Sembako”—serta jasa utama seperti pendidikan dan kesehatan.

Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) sebagai perubahan kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Dokumen ini belum resmi dibahas, tetapi sudah beredar luas di publik.

Editor:
Nur Hidayati
Bagikan