logo Kompas.id
EkonomiSastra, Jenama, Pariwisata
Iklan

Sastra, Jenama, Pariwisata

Sastra dapat memperkuat ”brand” atau jenama, sementara jenama mampu mengabadikan sebuah karya sastra, seperti dongeng atau legenda rakyat yang memiliki kearifan dan bahasa lokal.

Oleh
hendriyo widi
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/ahN34J2Rx1rM7Awin9b4DWvr3k4=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F03%2F5f255ebd-7b22-44b2-8c95-9991528f1434_jpg.jpg
KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Sejumlah lukisan yang menceritakan kekhasan Kota Semarang dipamerkan di Semarang Creative Hub, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (13/3/2021). Semarang Creative Hub, yang menjadi wadah ekonomi kreatif bagi anak muda Semarang, diresmikan pada Sabtu oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno.

Sastra bisa mengisahkan dan memberikan pemaknaan terhadap peristiwa ekonomi. Sebaliknya, ekonomi bisa melanggengkan sastra. Keduanya merupakan disiplin ilmu yang jauh berbeda, tetapi saling memiliki kebertautan satu sama lain dalam penerapannya.

Dalam Buku Besar Peminum Kopi (2020), Andrea Hirata mencatat krisis moneter Indonesia yang terjadi pada 1997-1998 sebagai salah satu konteks novelnya tersebut. ”Aku terbelalak membaca judul salah satu artikel di halaman muka: Indonesia Berisiko Mengalami Krisis Ekonomi Terbesar dalam Sejarahnya…. Esoknya kubaca di koran bahwa nilai tukar rupiah telah jatuh dari kisaran 5.500 per dollar AS menjadi 9.500, hampir 100 persen hanya dalam hitungan hari…. Inflasi meroket, sektor riil lumpuh, usaha-usaha tutup secara kolosal, pengangguran meledak. Bisnis yang muatan impornya tinggi kolaps.”

Editor:
Mukhamad Kurniawan
Bagikan