logo Kompas.id
EkonomiBatasan ”Feed in Tariff”...
Iklan

Batasan ”Feed in Tariff” Diragukan

Kebijakan harga listrik energi terbarukan selama ini dianggap tidak pro terhadap pengembangan energi terbarukan itu sendiri. Akibatnya, pengembangan energi terbarukan berjalan lamban dan tak menarik.

Oleh
ARIS PRASETYO
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/DNtArQNdulbm7Em-aBxGne5ppUE=/1024x684/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F20201124WEN15_1606197271.jpg
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Warga melintasi tiang-tiang kincir angin laboratorium Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/11/2020). Penggunaan energi bersih saat ini menjadi tuntutan bersamaan dengan menguatnya isu perubahan iklim.

JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemberlakukan feed in tariff atau harga tenaga listrik berdasar biaya produksi dengan kapasitas maksimal 5 megawatt diragukan dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Pemberlakuan tersebut diatur dalam peraturan presiden atau perpres yang sedianya terbit akhir tahun ini. Perpres tersebut sangat penting pengaruhnya bagi program transisi energi Indonesia.

Dalam draf rancangan perpres tentang harga jual-beli tenaga listrik energi terbarukan, penetapan feed in tariff akan diatur untuk pembangkit listrik tenaga hidro, tenaga surya, tenaga biomassa, dan PLTS atap dengan kapasitas hingga 5 megawatt (MW). Adapun harga listrik dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) peaker, bahan bakar nabati, dan gelombang laut ditetapkan berdasarkan mekanisme kesepakatan antara pengembang dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

Editor:
Mukhamad Kurniawan
Bagikan