Baduy, Antara Wisata dan Wasiat
Sebuah surat permohonan penghapusan Baduy sebagai obyek wisata kepada Presiden Joko Widodo menggegerkan masyarakat. Ada apa dengan Baduy?
Pertengahan April 2020, Heru Nugroho (57) mencoba mengasingkan diri dari hiruk-pikuk Jakarta dan pandemi Covid-19 dengan pergi ke Desa Kanekes di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Pelarian itu biasa ia lakukan sejak belasan tahun lalu. Selain karena memiliki rumah istirahat di Baduy Luar, ada warga Baduy Dalam yang telah dianggap sebagai keluarga keduanya.
Pada suatu kesempatan, ia dan dua rekannya bertandang ke Cikeusik, satu dari tiga kampung masyarakat adat Baduy Dalam. Di sana, ia berjumpa dengan pemimpin adat (puun) Cikeusik, Alim sebagai (pimpinan adat) Jaro Tangtu Cikeusik dan Saidi sebagai Tanggungan Jaro 12.
Dalam suasana akrab, mereka menikmati sepinya kampung tersebut dari wisatawan karena pembatasan sosial. ”Jaro Alim mencetus, ’Jadi deh wisata dihapus. Pak Saidi minta deh urusin’. Saya bilang, ’kita kirim ke Presiden aja, kalau ke Pak Saija (Jaro urusan administrasi pemerintahan) enggak beres-beres’,” kata Heru, mengulang pembicaraannya dengan tetua Baduy Dalam saat dihubungi Kompas, Senin (13/7/2020).