logo Kompas.id
β€Ί
Pendidikan & Kebudayaanβ€ΊPerempuan Kepala Keluarga,...
Iklan

Perempuan Kepala Keluarga, Para Pejuang Pendidikan Anak

Pencantuman nama ayah pada ijazah anak dinilai tidak adil oleh para perempuan kepala keluarga yang membesarkan dan menafkahi anak tanpa peran suami.

Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/88TbB8GuIMNUvNqd3kNbgmYZjBQ=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F04%2F409009_getattachment141475df-b4c7-444e-aaad-3b760cf37407400399.jpg
Kompas/Bahana Patria Gupta

Buruh angkut perempuan makan saat beristirahat di Pasar Pabean Surabaya, Rabu (20/4). Untuk membantu perekonomian keluarga, perempuan yang sebagian besar dari Pulau Madura ini menjadi buruh angkut. Beban yang mampu dibawa mereka di atas kepala bisa mencapai 80 kilogram.

Selembar ijazah kelulusan anak dari tingkat SD, SMP, hingga SMA/SMK selama ini hanya mencantumkan nama ayah sebagai orangtua peserta didik. Kebiasaan yang didukung keputusan pemerintah, kini dirasa tak bisa lagi dipertahankan. Para ibu menuntut ada kesetaraan dan keadilan dalam pencantuman nama ayah atau ibu dalam perjalanan pendidikan anak mereka.

Tuntutan para ibu agar namanya juga bisa dimasukkan dalam ijazah anak bukan sekadar kesetaraan. Di sini ada kisah tentang ibu tunggal, ibu kepala keluarga, yang berjuang sendiri membiayai dan mendidik anak-anaknya tanpa dibantu suami sebagai ayah dari anak-anak buah perkawinan mereka.

Editor:
Adhitya Ramadhan
Bagikan