logo Kompas.id
Pendidikan & KebudayaanPemberian Gelar Kehormatan...
Iklan

Pemberian Gelar Kehormatan oleh Perguruan Tinggi Jangan ”Diobral”

Sebagian akademisi mengkritik pemberian gelar kehormatan, seperti doktor ”honoris causa”, terutama kepada pejabat negara yang terkesan ”diobral”. Pemberian seperti ini pragmatis dan menjadi instrumen transaksional.

Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/OYj9U2D3ICifbLGtALFNTFh8pbo=/1024x473/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F66162ed9-67e4-45e9-b045-53368fa556a7_jpg.jpg
KOMPAS/RINI KUSTIASIH

Ketua DPR Puan Maharani menerima anugerah doctor honoris causa dari Universitas Diponegoro, Jumat (14/2/2020). Ia menerima anugerah di bidang kebudayaan dan kebijakan pembangunan manusia. Anugerah diserahkan oleh Rektor Undip Yos Johan Utama (tengah).

JAKARTA, KOMPAS — Pemberian gelar kehormatan doktor atau profesor honoris causa kepada sosok atau tokoh yang dinilai memiliki karya dan jasa luar biasa pada ilmu pengetahuan teknologi dan kemanusiaan lazim diberikan perguruan tinggi. Namun, pemberian gelar kehormatan dari perguruan tinggi juga jadi sorotan karena muncul kesan ”diobral” atau sebagai balas jasa pihak tertentu di perguruan tinggi yang dapat mengancam kebebasan akademik.

Dalam diskusi yang digelar Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) bertajuk ”Polemik Pemberian Gelar Doktor Kehormatan: Quo Vadis Kebebasan Akademik”, Selasa (19/10/2021), Ubedilah Badrun, dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menyampaikan, UNJ berencana memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa kepada wakil presiden dan seorang menteri.

Editor:
Adhitya Ramadhan
Bagikan