Polusi Suara
Polusi Suara yang Sering Dianggap Biasa
Pemutaran musik bervolume tinggi di ruang publik kini kerap mengundang kegelisahan karena dianggap cepat menyebabkan kebisingan dan polusi suara.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F01%2F1a727d00-22be-405b-a006-37dd5e03cd7d_jpg.jpg)
Suasana kafe Kopi Kalyan yang luang di kawasan Barito, Jakarta Selatan, Selasa (7/1/2020). Kafe kini mulai berubah tidak saja sebagai tempat makan dan minum, nongkrong, dan bertemu relasi, tetapi juga sebagai tempat bekerja dengan suasana yang mendukung dan tempat bagi seniman untuk memamerkan karya.
”Kita semua pernah datang ke sebuah kedai kopi (kafe) untuk bertemu teman ataupun kolega. Pertemuan itu bertujuan untuk berdiskusi atau rapat. Namun, volume suara musik di kafe itu diputar kencang dan dirasa bising mengganggu. Kita beberapa kali meminta pelayan untuk mengecilkan volume, tetapi tidak ada perubahan. Kita bertahan dengan kebisingan itu, beradaptasi, dan volume suara kitalah yang akhirnya dinaikkan agar perbincangan tetap lancar.”
Ilustrasi di atas dialami juga oleh Ary Budiyanto, antropolog dari Universitas Brawijaya, Malang. Salah seorang teman sekaligus kolega dia merasakan kegelisahan sama.