logo Kompas.id
Pendidikan & KebudayaanMusik Keheningan
Iklan

Musik Keheningan

Perbedaan dalam suatu bangsa akan selalu ada. Justru karena perbedaan itulah kita bisa saling belajar, lalu tumbuh bersama secara maksimal. Yang perlu dicegah, perbedaan jangan sampai jadi runcing.

Oleh
Ida Rsi Waskita Sari
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/IjFMnCzRIvj1m06kEdLtiUOza7s=/1024x572/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2F5e81afa1-709e-4510-a2d9-d490c65ac452_jpg.jpg
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA

Suasana ritual upacara Melasti di Pantai Kuta, Badung, Bali, Minggu (22/3/2020). Desa Adat Kuta tetap melaksanakan ritual upacara Melasti yang menjadi rangkaian menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1942, namun membatasi keikutsertaan warga dalam ritual Melasti demi mengikuti imbauan pemerintah terkait langkah pencegahan dan penanggulangan penyakit akibat virus korona baru (Covid-19).

Komposer Jepang kenamaan, Kitaro, pernah menyebut keheningan bagaikan sebuah musik. Dalam keheningan, ”Alam mengilhami saya. Saya hanyalah seorang utusan,” ujarnya. Karena itu, musisi kelahiran tahun 1953 tersebut melukiskan sebagian lagunya ”bagikan awan-awan, sebagian lagi bagaikan air”.

Lalu bisakah kita menjadikan keheningan yang akan menyelimuti Bali pada tahun baru Saka 1942 (Nyepi, 25 Maret 2020) ibarat sebuah musik? Musik alam yang memberikan kekuatan baru pada tekad kita mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa? Bukan sebaliknya, memperuncing perbedaan hingga menyebabkan warga terpecah-belah dan pembangunan kembali terhambat?

Editor:
Bagikan