logo Kompas.id
β€Ί
Di Balik Beritaβ€ΊMencium Bahaya, Diancam, lalu ...
Iklan

Mencium Bahaya, Diancam, lalu Ditolong

Dalam melakukan peliputan, jurnalis kerap bertemu bahaya. Namun, dalam setiap bahaya yang ditemui selalu ada tangan-tangan penolong.

Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/MCUazSfLmRMZvg6HMOJKMIoaLsc=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F05%2F510888_getattachment0857efc7-fbec-4e30-bce4-d4a9908524dc502355.jpg
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Alat berat diparkir di jalan yang dibangun di dalam wilayah konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Lapak Jaru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Senin (5/2). Jalan sepanjang 11 kilometer itu dibuka untuk memfasilitasi kelompok masyarakat yang membuka tambang emas ilegal.

Menjadi jurnalis memang tidak mudah. Paling tidak itu kata-kata wartawan senior Kompas, almarhum Banu Astono. Tidak mudah karena bakal sering mencium bahaya.

Masih lekat di ingatan saya kata-kata yang dilontarkan Mas Banu, begitu kami memanggilnya, sebelum saya dilepas ke Pulau Kalimantan. Pada Oktober 2015, saya resmi bertugas di Kalimantan Tengah bersama wartawan Kompas lainnya yang lebih dulu beberapa tahun bertugas di sana, Megandika Wicaksono atau DKA inisialnya.

Editor:
Emilius Caesar Alexey
Bagikan