Peliknya Pengelolaan Sampah Kemasan Plastik
Minimnya pengelolaan sampah oleh masyarakat diperburuk dengan realitas banyak produk yang dikemas dengan plastik.
Sampah kemasan plastik belum sepenuhnya dikelola dengan baik sehingga mencemari lingkungan. Untuk mengurangi timbulan sampah plastik, pemerintah dapat meningkatkan ruang daur ulang sekaligus mencegah produk-produk kemasan plastik.
Indonesia termasuk negara dengan jumlah limbah plastik terbesar di dunia. Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022, timbulan sampah di Indonesia mencapai 69,2 juta ton dengan 18 persen di antaranya merupakan sampah plastik. Berdasarkan penyumbangnya, salah satu sumber terbanyak adalah sampah domestik atau rumah tangga dan perniagaan.
Puluhan juta ton sampah plastik tersebut belum diolah dengan maksimal. Sebagian besar sampah dibiarkan menumpuk sehingga mencemari lingkungan.
Penelitian oleh Litbang Kompas dan Net Zero pada November 2022 menunjukkan, kesadaran dan upaya pengelolaan sampah di Indonesia sangat minim. Dari 600 responden hanya 30 persen responden yang pernah berlatih pengelolaan sampah.
Minimnya pengelolaan sampah oleh masyarakat diperburuk dengan realitas banyak produk yang dikemas dengan plastik. Produk kemasan plastik tersebut meliputi produk makanan, minuman, kecantikan, hingga ironisnya, produk kebersihan.
Timbulan sampah kemasan plastik masih mendominasi berbagai lokasi, mulai dari tempat pembuangan sampah (TPS), tempat pembuangan akhir (TPA), badan air, pinggir jalan, sawah, pesisir, laut, dan lainnya. Tiga jenis sampah kemasan paling banyak ditemukan adalah kemasan saset, gelas, dan botol. Hal tersebut bertolak belakang dengan agenda besar pemerintah dalam upaya pengurangan sampah plastik.
Minimnya pengelolaan sampah oleh masyarakat diperburuk dengan realitas banyak produk yang dikemas dengan plastik.
Temuan di lapangan berupa sampah kemasan berukuran kecil menambah peliknya pengelolaan sampah di Indonesia. Ukuran kemasan kecil membuat orang tidak merasa bersalah ketika membuangnya.
Sampah kecil itu tanpa disadari akhirnya bertumpuk dan menjadi banyak. Alhasil, sampah plastik akan terus bertambah dari hari ke hari. Karena itu, pemerintah harus tegas mendorong produsen beralih ke kemasan lebih besar demi mengurangi kemasan-kemasan kecil. Apalagi, melalui peta jalan pengurangan sampah oleh produsen, pemerintah menargetkan penurunan volume sampah plastik hingga 30 persen sepanjang periode 2020-2029.
Tanggung jawab produsen
Urgensi pengelolaan sampah plastik harus ditekankan di level produsen. Idealnya, ada aturan tegas bagi produsen makanan, minuman, produk kecantikan, dan lainnya yang menghasilkan sampah plastik untuk menangani sampah plastik.
KLHK telah mengeluarkan Peraturan Menteri LHK Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen. Aturan tersebut mewajibkan produsen bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman, serta ritel untuk mengurangi sampah yang timbul baik dari produk, kemasan produk, dan/atau wadah dengan bahan plastik, kaleng alumunium, kaca, dan kertas.
Baca juga: Menuju Pengelolaan Sampah yang Lebih Baik
Terdapat tiga skema untuk mengurangi sampah, yaitu pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah.
Ada cukup banyak industri yang diwajibkan untuk melakukan pengurangan sampah. Dalam pasal 3, tercatat setidaknya ada 11 jenis industri yang harus mengurangi produksi sampah plastiknya hingga 30 persen. Jenis industri tersebut meliputi industri makanan dan minuman, barang konsumsi, kosmetik dan perawatan tubuh, rumah makan, kafe, restoran, jasa boga, hotel, pusat perbelanjaan, toko modern, serta pasar rakyat.
Salah satu poin yang penting disoroti adalah pembatasan timbulan sampah. Hal ini dilakukan melalui penggunaan produk, kemasan produk, dan/atau wadah yang mudah diurai oleh proses alam. Artinya, produsen harus beralih ke kemasan yang lebih besar untuk meminimalkan sampah kemasan berukuran kecil.
Sementara usaha pendauran ulang sampah plastik dilakukan melalui dua skema, yaitu menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang dan hasil daur ulang.
Dari hasil survei Litbang Kompas terlihat bahwa mayoritas responden belum memiliki kebiasaan untuk mendaur ulang sampah kemasan atau menggunakan produk yang sampahnya dapat dikembalikan ke produsen. Sebanyak 77,5 persen responden mengatakan tidak pernah mengumpulkan kemasan atau mengembalikan kepada produsen. Selain itu, 75,7 persen responden menyatakan belum pernah menggunakan produk yang sampahnya dikumpulkan ke produsen.
Di sisi lain, upaya pengurangan sampah plastik belum didukung ketegasan aturan untuk produsen. Aturan tersebut tidak memiliki skema sanksi berat kepada produsen yang tidak patuh.
Sanksi yang diberikan kepada produsen hanya berupa disinsentif. Sanksi yang bersifat hukuman denda atau kurungan belum tercantum. Hal tersebut tentu akan melemahkan upaya pengurangan sampah plastik untuk produsen.
Keterlibatan lebih luas
Regulasi yang telah diterbitkan belum sepenuhnya mampu mendorong pengurangan sampah plastik oleh produsen secara masif. Bahkan, banyak produsen yang terus mengeluarkan produk dengan kemasan plastik kecil dan sulit terurai.
Penelitian Litbang Kompas dengan Net Zero menyebutkan, ada sejumlah produsen yang mendominasi sampah kemasan plastik di lapangan. Untuk produk makanan, bungkus plastik mi instan menduduki urutan pertama, kemudian disusul kemasan botol minuman berpemanis buatan. Produk-produk kebersihan, seperti sabun mandi, sampo, pasta gigi, cairan pel, dan lainnya juga menyumbang timbulan sampah tak sedikit.
Pelanggaran oleh produsen akan sulit dibendung, mengingat aturan yang berlaku belum cukup kuat membatasi produksi kemasan plastik berukuran kecil. Apalagi aturan tentang sampah yang dikeluarkan KLHK tidak terintegrasi dengan izin edar yang dikeluarkan BPOM dan Kementerian Perindustrian.
Selama ini izin edar hanya didasarkan pada kelayakan serta kualitas makanan, minuman, kosmetik, dan lainnya. Indonesia belum mengatur tegas tentang sampah plastik akibat konsumsi produk-produk tersebut.
Plastik yang terurai hingga ukuran kecil atau disebut mikroplastik adalah bahan pencemar berbahaya bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Banyak di dalam tubuh hewan ditemukan mikroplastik sehingga berpotensi membahayakan manusia jika dikonsumsi.
Dibutuhkan peran lebih banyak pihak untuk mengurangi sampah kemasan plastik. Selain langkah tegas pemerintah pusat dan daerah untuk menindak produsen, pemberdayaan masyarakat dan komunitas juga penting dilakukan.
Masyarakat dapat dilibatkan secara aktif melalui pengelolaan sampah kemasan plastik yang berkelanjutan. Skema tersebut adalah bentuk ideal yang mempertemukan hulu dan hilir dalam sistem produksi dan konsumsi produk dengan kemasan plastik. (LITBANG KOMPAS)