Bukan Sastra Inferior
Gagasan sastra kontekstual lahir akibat fakta bahwa para sastrawan terlalu berkiblat pada standar universal (Barat). Ini embrio yang pantas dirawat untuk menghasilkan bentuk baru sastra Indonesia yang tidak inferior.
Arif Budiman (Soe Hok Djin) dan Ariel Heryanto pada 1984—dalam Sarasehan Kesenian di Solo yang diinisiasi Halim HD—menawarkan konsep apa yang disebut ”sastra kontekstual”. Gagasannya adalah melawan apa yang disebut ”keuniversalan”, seperti diyakini dalam Manifesto Kebudayaan (Manikebu).
Tak ada ukuran yang sama atau universal dalam hal apa pun. Semua terikat oleh dimensi ruang dan waktu. Rasa keindahan orang Papua, misalnya, berbeda dengan dengan rasa keindahan orang Jawa. Demikian pula standar sastra Indonesia, seharusnya berbeda dengan standar sastra Barat. Namun, faktanya, selama ini kita terus-menerus memaksakan standar sastra Barat.