Miraj dan ”The Lost Art of Scripture”
Miraj mengajarkan tentang rongga dialog yang harus terus dibuka. Dialog yang bukan berhenti sebatas saling memahami, tumbuhnya toleransi, dan tertanamnya sikap moderasi, tetapi harus lebih dari sekadar itu.
Karen Armstrong kembali menerbitkan buku terbarunya (2021), The Lost Art of Scripture: Menikmati Sunyi, Bunyi, dan Visi dalam Menghayati Pesan Agama. Saya kira buku ini sangat relevan untuk konteks keindonesiaan dengan agama yang beragam dan multikultural. Armstrong dengan tekun melacak semua kitab suci sepanjang sejarah manusia dan mengungkap jeroan agama sampai kemudian tersibak hakikatnya. Bahwa hakikat agama yang benar mengajarkan umat manusia hidup berdampingan, penuh kasih. Kembali pada agama-agama artinya tiba pada Yang Sakral untuk selanjutnya giat menata hidup dalam terang ilahiah.
Bahwa kitab suci seharusnya dibaca tidak saja mengandalkan kekuatan otak kiri yang serba harfiah, hitam putih, dan skriptural, tetapi sudah saatnya melibatkan secara intim otak kanan agar kitab suci kembali berbunyi seperti alunan musik yang menggetarkan jiwa. Sehingga, tafsiran kitab suci, alih-alih saling diperebutkan, dijadikan ”api unggun” tempat semua umat beragama berkumpul mencari kehangatan, pencerahan, dan saling belajar satu dengan lainnya.