Tradisi dan Kesadaran
Jadi jeda antara norma yang tradisional dan realitas yang modern semakin meluas. Namun, kuasa ideologi ”tradisi” tak berkurang, hal mana memacetkan setiap langkah adaptatif.
Kebudayaan Bali telah lama bermasalah dengan modernitas. Politik tentunya berperan dalam hal ini: sejak awal Orde Baru, pengungkapan ”tradisi yang luhur” yang dikedepankan, sedangkan tematika ”penderitaan rakyat” dibungkam. Kemudian pemilihan pariwisata sebagai landasan pembangunan ekonomi mempertegas lagi pilihan politik ini. Apabila ditambah dengan kenyataan bahwa kebudayaan tradisional Bali sangat visual, dan amat dikagumi karena itu oleh orang luar, tidak mengherankan jika acuan pada kekinian dihindari.
Istilah-istilah seperti ”tradisi”, ”budaya”, ”harmoni antara manusia dan alam” terus bermunculan dalam wacana umum. Seolah-olah Bali adalah dunia lain yang ditakdirkan berada di luar ketegangan dan pertarungan dunia real. Seni tentunya disertakan di dalam konstruksi wajah ”ideal” ini. Seni perdesaan didukung pelestariannya sebagai norma, sedangkan ragam seni baru ”wajib” mengacu secara formal dan tematis pada warisan lama, alih-alihnya modernitas seakan-akan belum menyentuh Pulau Bali. Pendeknya, ”ideologi tradisi” sedemikian menguasai benak orang sehingga wacana kritik/transformatif tak diberikan ruang yang berarti!